"Beberapa hari setelahnya,aku masih melanjutkan latihan ku, sekarang aku sudah bisa sedikit menguasai petir itu"
Langit masih kelabu, tapi di tanah latihan kami, suara petir dan guncangan bergema seperti suara perang.
"Sekali lagi, Hanz!" seruku.
Tubuhku sudah diselimuti kilatan petir—kuning terang, menyambar-nyambar di sekujur tubuh. Thunder Body. Lima jam per hari, setiap hari, aku latih teknik ini sampai seluruh ototku terbiasa menerima aliran listrik tanpa lumpuh. Dan sekarang, hasilnya...
BOOM!
Aku menghilang dari tempatku berdiri. Hanz, yang berdiri sekitar sepuluh meter di depan, langsung bereaksi—tapi terlambat. Aku sudah muncul di belakangnya.
BRUKK!!
Siku kiriku menghantam bahunya, membuat tubuhnya terpental ke samping dan menghantam batang pohon besar.
"A—Az, lu gila..." gumam Hanz, bangkit dengan kepala berdarah ringan.
Aku mengatur napas. Thunder Body memang membuat gerakanku hampir tak terlihat. Tapi...
ZRRRT!
Ototku menegang. Efeknya masih bikin sakit kepala ringan.
"Ayo berdiri. Latihan belum selesai," kataku, mencoba bersikap tenang meski jantungku masih berdebar cepat.
Hanz tertawa pendek. "Lu gak berubah ya. Selalu brutal."
Ia menjejakkan kaki kuat-kuat ke tanah.
DUARR—!!
Tanah langsung bergetar hebat. Tapi kali ini beda—bukan cuma guncangan biasa. Dari bawah kakiku, tanah retak dan dur-duri runcing dari batu muncul, mengincar kakiku.
Aku melompat mundur, tapi dua duri hampir menusuk pinggangku. Aku reflex memutar di udara dan mendarat lagi, tapi Hanz gak berhenti.
"DRAGON EARTH FANG!!" teriaknya.
Retakan tanah bergerak ke arahku seperti naga batu, dan dari dalamnya muncul dua taring raksasa dari tanah yang menyembur ke atas.
"Gila, ini baru serius..." bisikku.
Aku melesat lagi, petirku meledak saat kaki menyentuh tanah. Aku melingkar di samping Hanz dengan kecepatan penuh, mencoba menghindari guncangan dari teknik barunya. Tapi tiap aku mendekat, tanah di bawah kakiku meledak, membuat keseimbanganku terganggu.
"Lu mulai bisa baca gerakanku?" teriakku.
Hanz menyeringai. "Enggak! Tapi gue bikin tanahnya gak stabil! Jadi lu gak bisa pakai kecepetan maksimal terus!"
Smart bastard...
Aku mengumpulkan mana di tangan, lalu menyalakan api—api merah biasa. Kugunakan untuk menutup celah pertahananku sambil terus mencoba mencari titik buta Hanz.
Hanz menghantam tanah sekali lagi, dan tanah di sekitarnya berubah jadi medan perang kecil: retakan, pilar-pilar batu, dan bahkan satu dinding yang tiba-tiba muncul tepat di jalur gerakanku.
BAAM!!
Aku menabrak dinding itu dengan bahu. Petirku melindungiku dari cedera serius, tapi tetap saja, itu menyakitkan.
Kami berdua menarik napas panjang, berdiri di tengah lapangan yang sekarang sudah seperti reruntuhan arena.
"Tadi lu sempat kena juga," kata Hanz.
"Lu juga—bahu lu masih berdarah," balasku sambil menunjuk.
Kami tertawa kecil.
Tapi dalam hatiku, aku tahu... aku harus lebih dari ini.
Aku buka telapak tanganku, dan untuk pertama kalinya dalam seminggu, aku mencoba sesuatu yang... berbeda.
Holy Energy.
Kukumpulkan dalam bentuk sihir api.
FWOOSH—!!
Api biru menyala di tanganku, jernih, terang, menyilaukan. Bukan panas yang membakar seperti api merah... tapi tenang, hangat, dan—anehnya—mematikan.
"WOI APAAN TUH AZRAEL?!"
Hanz kaget bukan main, bahkan refleks mundur dua langkah. "Lu... lu belajar variasi sihir lagi? Itu mana jenis baru?"
Aku diam sejenak. "Mungkin. Masih eksperimen."
Padahal aku tahu, ini bukan mana biasa. Ini Holy Energy.
Untuk pengujian terakhir, aku coba gabungkan Thunder Body dan api biru.
ZZZRT—BOOOM!!!
Tubuhku langsung terpental ke belakang seperti disambar dua dewa petir yang bertengkar. Kilatan menyambar pohon, dan api biru menghilang seketika. Jantungku hampir loncat keluar.
"AZRAEL!!" Hanz berlari panik.
Aku terduduk di tanah, nafas ngos-ngosan, dada panas seperti terbakar dari dalam. "Dua energi... belum bisa... mereka... nolak satu sama lain."
"Lu gila! Itu tadi hampir bikin ledakan level kota kecil!" seru Hanz sambil membantu menarikku berdiri.
Aku tertawa lemah. "Itu artinya... butuh lebih banyak latihan, kan?"
Hanz menatapku tajam, tapi akhirnya ikut tertawa. "Oke. Tapi sekarang istirahat dulu.aku belum pengen jadi korban ledakan kedua."