Pagi itu, sinar matahari yang biasanya hangat terasa begitu menyilaukan. Dorm ENHYPEN masih hening, kecuali suara langkah pelan Jay yang tengah bersiap ke dapur untuk membuat sarapan. Namun langkahnya terhenti ketika melihat Sunoo bergegas dari kamar Jungwon dengan wajah panik.
"Jay hyung! Jungwon demam!" seru Sunoo dengan suara gemetar.
Jay langsung meletakkan gelas yang ada di tangannya dan menghampiri Sunoo. Ia mengikuti dari belakang menuju kamar Jungwon, dan pemandangan yang mereka lihat membuat jantungnya terhenti sesaat.
Jungwon terbaring lemah di ranjang, wajahnya memucat, namun tubuhnya terasa panas seperti bara. Napasnya berat, keringat dingin membasahi pelipis, dan ia terus menggeliat kecil dalam tidurnya.
Heeseung masuk terburu-buru setelah mendengar kegaduhan kecil dari luar. Begitu melihat kondisi Jungwon, ia langsung berlutut di samping tempat tidur.
"Won… bangun… lihat aku…" bisiknya lembut, mengguncang pelan bahu Jungwon.
Namun Jungwon hanya mengerang lemah, matanya tak mampu terbuka sepenuhnya. Tangannya mencoba meraih seseorang, seolah mencari pegangan, tapi tak sanggup menggenggam apa pun.
"Panasnya tinggi banget, hyung," kata Niki yang baru datang sambil membawa termometer. "39,5 derajat…"
Jay langsung mengeluarkan ponsel dan menelepon manajer. "Hyung, Jungwon demam tinggi. Kami mau bawa dia ke rumah sakit sekarang."
Tanpa banyak bicara lagi, Sunghoon dan Heeseung segera menyiapkan jaket dan masker untuk Jungwon. Mereka mengangkat tubuhnya dengan hati-hati. Heeseung menuntunnya ke mobil sambil terus menepuk-nepuk punggung Jungwon dengan lembut.
"Bertahan ya… sebentar lagi kita sampai rumah sakit," gumam Heeseung, mencoba menenangkan dirinya sendiri lebih dari siapa pun.
Perjalanan ke rumah sakit terasa sangat panjang walau hanya beberapa kilometer. Sunoo menggenggam tangan Jungwon erat di sepanjang perjalanan, sementara Jay menyetir dengan kecepatan tinggi. Di tengah jalan, mereka sempat tertahan oleh lampu merah yang cukup lama.
Niki membuka jendela dan melambaikan tangan ke mobil polisi yang kebetulan lewat. Mereka menjelaskan situasi dengan cepat, dan polisi segera memberikan jalur khusus untuk mereka melaju.
Sesampainya di rumah sakit, tim medis langsung membawa Jungwon masuk ke ruang UGD. Para member menunggu di luar dengan wajah cemas. Sunghoon berjalan mondar-mandir, tak bisa tenang. Sementara Heeseung hanya duduk dengan kepala tertunduk, tangan mengepal di atas lutut.
Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang UGD dan mendekat.
"Kondisi Jungwon mengalami demam tinggi karena kelelahan dan tekanan emosi yang belum stabil. Ini bisa membahayakan kalau terus berlanjut. Kami akan infus dan observasi selama beberapa hari. Tolong jangan beri dia tekanan apa pun untuk sementara waktu."
Mereka semua mengangguk pelan, wajah masing-masing menunjukkan rasa bersalah yang mendalam.
Heeseung memejamkan matanya dalam, menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan:
"Kami akan lindungi dia. Mulai sekarang, kami tidak akan biarkan dia terluka lagi…"
Dan pagi itu, bukan hanya tubuh Jungwon yang terbakar panas… tetapi juga hati semua orang yang mencintainya — terbakar oleh rasa khawatir, sedih, dan amarah yang belum terselesaikan.
Setelah dokter meninggalkan ruang tunggu, suasana di koridor rumah sakit kembali sunyi. Beberapa anggota member masih duduk lemas, tatapan mereka kosong menatap dinding putih di depan. Namun tidak dengan Heeseung dan Sunghoon. Keduanya saling pandang, lalu mengangguk seakan tahu apa yang harus dilakukan.
Heeseung bangkit dari kursinya, menepuk bahu Jay dan berkata pelan, "Jaga Jungwon. Aku dan Sunghoon sebentar keluar."
Tanpa banyak bicara, mereka melangkah cepat meninggalkan rumah sakit. Begitu sampai di parkiran basement, Sunghoon mengambil ponselnya dan mengetik cepat. Tak butuh waktu lama, ia menekan nomor salah satu anak buahnya dan berbicara tegas.
"Bawa Gabriel dan Beomgyu ke markas. Sekarang juga. Aku tak peduli caranya bagaimana, aku ingin mereka di sana dalam waktu satu jam."
Suara dingin Sunghoon menggema di lorong parkiran, membuat suasana semakin mencekam.
Satu jam kemudian – Markas rahasia milik Sunghoon
Sebuah ruangan gelap dengan cahaya neon redup, kursi-kursi kosong mengelilingi meja panjang. Heeseung duduk di ujung ruangan dengan tangan menyilang, ekspresinya dingin dan penuh tekanan. Sunghoon berdiri di sisi kanan, memegang ponselnya, memastikan semua berjalan sesuai rencana.
Tiba-tiba, dua pintu besar terbuka. Gabriel dan Beomgyu digiring masuk oleh dua pria berpakaian hitam. Mereka berdua tampak terkejut — terutama Gabriel yang langsung menatap Heeseung dan Sunghoon dengan penuh amarah.
"Apa-apaan ini?! Kenapa kalian bawa aku ke tempat ini?!"
Beomgyu menunduk. Wajahnya penuh tekanan dan rasa bersalah. "Sunghoon… Heeseung… kami—"
"Duduk."
Satu kata dingin dari Heeseung langsung membuat Gabriel dan Beomgyu terpaku. Mereka perlahan duduk di kursi di seberang meja.
Suasana hening beberapa detik, hingga akhirnya Heeseung bersuara dengan nada datar namun penuh amarah yang terpendam.
"Kalian tahu kenapa kami panggil ke sini?"
Gabriel membuang wajah. "Kalau ini soal Jungwon, aku sudah bilang aku tidak cinta lagi. Lagipula, ini urusan pribadi, bukan urusan kalian."
Sunghoon menyeringai sinis, lalu bertepuk tangan perlahan.
"Hebat. Hebat banget kamu, Gabriel." Tatapannya tajam menusuk.
Ia berjalan mendekat dan berdiri di hadapan Gabriel.
"Kamu nggak cinta? Oke. Tapi menyakiti adik kita, lalu pergi dengan pria lain, lalu sekarang pura-pura semua baik-baik saja?" suaranya meninggi, namun tetap dingin.
Beomgyu mencoba angkat suara, "Kami tidak berniat menyakiti siapa pun…"
Heeseung menyela cepat. "Tapi kamu tahu, bukan, dia sakit karena kalian? Sakit mental. Fisiknya drop. Harus dirawat. Dan kamu, Gabriel—"
Ia menatap tajam Gabriel.
"Masih sempat-sempatnya bilang kamu bosan?"
Gabriel mendengus. "Aku hanya jujur. Aku tidak bisa pura-pura cinta saat perasaanku sudah nggak ada."
Sunghoon mendekat, menunduk tepat di depan Gabriel, dan berkata pelan namun menusuk:
"Kalau begitu, kenapa tidak pergi diam-diam? Kenapa harus menghancurkan dia dulu? Kenapa harus kasih harapan, lalu menjatuhkan semuanya sekaligus? Apakah cinta bagimu semurah itu?"
Gabriel hanya terdiam. Nafasnya berat, namun tak ada penyesalan di matanya. Beomgyu menunduk makin dalam, menahan malu dan bersalah, tak mampu membalas tatapan siapa pun.
Heeseung berdiri perlahan, melangkah menuju pintu ruangan.
"Kalian boleh pergi. Tapi mulai sekarang…"
Ia menatap tajam.
"Jangan pernah muncul di hadapan Jungwon lagi. Karena kalau kalian berani menyakitinya sekali lagi… kalian akan berurusan dengan kami semua."
Gabriel menoleh cepat, ingin bicara, namun Sunghoon lebih dulu menatapnya dan berkata dingin:
"Keluar. Sebelum aku berubah pikiran."
Anak buah Sunghoon menggiring keduanya keluar dari ruangan. Pintu kembali tertutup. Keheningan memenuhi markas kembali.
Sunghoon menatap Heeseung dan bertanya pelan,
"Apa kita melakukan hal yang benar?"
Heeseung mengangguk, ekspresinya tetap dingin.
"Kita melindungi keluarga kita, Hoon. Itu sudah cukup."
Setelah Gabriel dan Beomgyu meninggalkan markas dengan langkah cepat, suasana ruangan kembali hening. Sunghoon masih berdiri di tengah ruangan, tatapannya tajam menatap pintu yang baru saja tertutup. Rasa marah, kecewa, dan kasihan terhadap Jungwon bercampur menjadi satu di dalam dadanya.
Ia menarik napas dalam-dalam, menatap anak buahnya yang masih berdiri tegak di dekat pintu. Dengan suara tegas dan serius, Sunghoon bersuara:
"Dengar baik-baik. Mulai hari ini, pantau semua aktivitas Gabriel dan Beomgyu."
Anak buahnya langsung mengangguk, fokus penuh pada perintah itu.
Sunghoon melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih dalam, penuh amarah terpendam:
"Jika salah satu dari mereka mencoba menemui Jungwon, apapun alasannya—langsung hubungi aku atau Heeseung. Jangan biarkan Jungwon menghadapi mereka sendirian lagi. Sekali pun."
Mereka kembali mengangguk cepat. "Baik, Tuan. Kami akan menjaga jarak aman dan terus melaporkan setiap gerak-gerik mereka."
Heeseung yang masih berdiri di dekat jendela akhirnya ikut bicara, suaranya tenang tapi dingin:
"Jangan beri mereka ruang untuk membuat Jungwon terluka lagi. Kalau perlu… cegah mereka bahkan sebelum mereka sempat mendekat."
Sunghoon menambahkan, "Jungwon terlalu rapuh sekarang. Satu luka lagi bisa menghancurkannya. Aku nggak akan biarkan itu terjadi."
Salah satu anak buahnya bertanya dengan hati-hati, "Bagaimana kalau Jungwon yang ingin bertemu mereka, Tuan?"
Sunghoon diam sejenak. Ia mengepalkan tangan dan menjawab perlahan, "Kalau itu terjadi… cegah dengan cara yang baik. Tapi kalau dia bersikeras—beri tahu kami. Hanya kami yang boleh menghadapinya dulu."
Heeseung mengangguk menyetujui, "Dia butuh perlindungan, bukan lebih banyak luka."
Perintah sudah jelas. Semua anak buah Sunghoon menerima instruksi itu tanpa keraguan. Mereka tahu ini bukan sekadar urusan cinta biasa — ini tentang melindungi seseorang yang sudah terlalu banyak terluka.
Sunghoon menatap langit malam dari jendela markas.
"Tunggu sampai Jungwon bangkit lagi. Saat itu tiba, kita pastikan dia tak akan pernah disakiti siapa pun… termasuk oleh masa lalunya."