Bab 2
"Takdir yang Tidak Bisa Dipilih"
Langit sore itu seperti lukisan yang dilupakan Tuhan di sudut kanvas dunia — pucat, namun tetap indah dalam keheningan.
Aku duduk sendirian di sudut aula, sementara Naya melangkah perlahan ke arahku, membiarkan suaranya mengisi ruang kosong di antara kami.
"Setiap jiwa," katanya pelan, "sudah digariskan jalannya, bahkan sebelum ia sempat memilih siapa yang akan ia cinta."
Aku hanya menatap, membiarkan setiap katanya meresap ke dalam dada yang entah kenapa terasa semakin sempit.
Naya menatapku dengan mata teduh, matanya bukan mata seorang perempuan lemah, melainkan mata yang pernah berperang — dan menang — melawan takdir yang menyakitkan.
"Arka..."
Ia menyebut namaku seolah-olah itu adalah sebuah doa yang hanya boleh diucapkan sekali, lalu disimpan selamanya.
"Ada rasa yang harus cukup dipeluk dalam diam. Karena tidak semua yang kita rindukan, harus kita genggam."
Aku menunduk. Aku kalah dalam diamnya.
Naya, dengan jilbab sederhana dan pakaian longgar berwarna lembut itu, tampak begitu anggun — seperti lukisan hidup tentang kesabaran.
Setiap geraknya mengajarkan arti ikhlas, setiap ucapannya mengingatkan bahwa ada sesuatu yang lebih besar daripada keinginan: kehendak Tuhan.
"Aku pernah berdoa," lanjutnya, suaranya hampir serupa bisikan, "agar diberi cinta yang menenangkan. Tapi aku lupa meminta, agar cinta itu tidak menguji imanku."
Aku menahan napas. Kata-katanya menghunus lebih tajam daripada seribu pedang.
Dan di hadapannya, aku tahu...
Cinta yang kami miliki adalah cinta yang dilarang Tuhan untuk tumbuh, namun tetap Ia izinkan untuk menjadi ujian.
Dalam hening, aku menatap tangan kami — begitu dekat namun tak pernah bersentuhan.
Takdir membentangkan jarak yang tak bisa kami lewati, dan kami memilih untuk tidak melawannya.
Karena dalam agama kami, kesetiaan pada janji lebih suci daripada segala cinta yang lahir tanpa izin.