Branta Lintas, Tower B — 19:23 WIB
Lift bergerak perlahan ke lantai 49. Dindingnya dari logam mengkilap, tapi semua terasa dingin seperti ruang otopsi. Di pojok belakang, Nayla berdiri diam. Di sampingnya, perempuan yang tadi menyelamatkannya—yang mengaku adik Adrian.
Namanya: Reina. Usia sekitar akhir dua puluhan, rambut hitam pendek, sorot mata nyalang seperti bekas prajurit. Sejak tadi ia tak bicara sepatah kata pun.
Suara lift berdenting. Lantai 35.
"Jadi kamu benar-benar adiknya?" tanya Nayla akhirnya.
Reina tak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke pintu lift yang belum terbuka.
"Aku bukan cuma adiknya," katanya pelan. "Aku bagian dari jaringan yang Adrian bangun. Tapi bahkan dalam jaringannya, hanya segelintir yang tahu siapa dia sebenarnya."
Nayla memandangnya tajam. "Kenapa baru sekarang kamu muncul?"
Lift berdenting lagi. Lantai 41.
"Karena kamu baru sekarang sampai sejauh ini," jawab Reina. "Kalung itu... bukan sekadar kunci. Itu kompas. Ia mengarahkan ke satu tempat: rekaman utama semua pembicaraan rahasia di Branta Lintas—termasuk orang yang menjebak Adrian."
Suasana di dalam lift berubah menegang.
Lantai 45. Reina mengeluarkan sebuah ID palsu dan menempelkannya ke panel sensor.
"Lantai 49 hanya bisa diakses oleh petinggi," katanya. "Adrian sempat menyamar sebagai teknisi di sini. Dia tanam satu alat kecil, kira-kira dua meter dari ruang panel utama. Itu yang kita cari."
Lift berhenti. Pintu terbuka.
Koridor kosong. Kamera CCTV menatap ke arah sebaliknya. Reina bergerak duluan. Langkahnya cepat dan senyap. Nayla mengikuti.
---
Ruang Panel Data — Dua Menit Kemudian
Mereka masuk ke ruang panel yang penuh dengan suara denging dan lampu berkedip. Reina langsung menuju ke sudut kanan, membuka penutup dinding, dan mulai mengutak-atik sebuah celah kecil di balik kabel.
"Ini," katanya, sambil mengeluarkan sebuah mikrochip mungil. "Rekaman semua percakapan dari enam bulan sebelum Adrian 'hilang'."
Nayla menggenggam chip itu, jari-jarinya gemetar.
"Ini bisa menjatuhkan nama-nama besar," katanya.
Reina mengangguk. "Termasuk satu nama... yang tak akan kamu duga."
---
Tangga Darurat — Saat Akan Pergi
Tiba-tiba alarm berbunyi. Lampu darurat menyala merah.
"Ada yang tahu kita di sini," gumam Reina.
Mereka berlari ke arah tangga darurat. Tapi di ujung tangga, suara langkah kaki berat menggema—tanda ada yang datang dari bawah.
Mereka berbalik, berlari naik ke lantai 50.
Namun tepat saat mereka hampir sampai ke pintu atap, seorang pria besar menghadang. Reina mengeluarkan pisau kecil, bersiap menyerang.
Tapi pria itu mengangkat tangan. "Jangan. Aku di pihak kalian," katanya.
Reina sempat ragu. Tapi pria itu melemparkan sesuatu ke arah Nayla—sebuah kartu memori.
"Di dalam itu ada suara Adrian. Rekaman terakhirnya."
Nayla menatap benda itu. Dadanya sesak.
---
Penutup Bab — Kosan Nayla, Tengah Malam
Nayla duduk di depan laptop, kartu memori sudah terpasang.
Ia klik file pertama. Suara Adrian terdengar pelan namun jelas:
> "Kalau kau mendengar ini, berarti kamu sudah jauh lebih kuat dari yang pernah ku bayangkan…"
> "…dan itu artinya, permainan ini belum selesai. Aku masih hidup. Tapi untuk itu, kamu harus datang ke tempat semuanya dimulai: Menara Tua, Tanjung Priuk."
> "Jangan bawa siapa pun. Termasuk Reina."
Menara Tua, Tanjung Priuk — 03:04 WIB
Kabut tipis menggantung rendah di pelabuhan tua. Menara tua itu berdiri diam di ujung dermaga seperti hantu yang menolak lenyap. Catnya mengelupas, dindingnya lembab, tapi masih tegak—tempat yang sudah lama ditinggalkan peta dan sejarah.
Nayla berdiri sendirian di depan pintu baja berkarat. Tak ada Reina. Tak ada siapa pun.
Ia memegang kalung itu erat-erat. Chip di dalamnya masih utuh. Tapi lebih dari itu, kata-kata Adrian terus berulang di kepalanya:
> "Aku masih hidup…"
Ia membuka pintu menara. Derit besi menggema seperti jeritan hampa. Tangga spiral membawanya naik, langkah demi langkah. Lantai demi lantai.
Di lantai tiga, lampu redup menyala dari sebuah ruangan kecil. Ada meja. Komputer tua. Dan sebuah proyektor menghadap tembok.
Nayla melangkah masuk.
Layar menyala otomatis. Gambar buram muncul. Lalu... wajah Adrian.
Hidup. Tapi lebih kurus, lebih lelah, dengan tatapan yang hanya dimiliki orang-orang yang sudah kehilangan segalanya kecuali tekad.
> "Nayla, kalau kamu sampai ke sini… berarti kamu sudah melewati semua jebakan yang kutinggalkan."
> "Maafkan aku. Aku harus memalsukan kematianku. Karena jika mereka tahu kamu terlibat, kamu pasti jadi korban berikutnya."
Nayla berdiri membeku. Air matanya menetes perlahan. Tapi ia tetap menatap layar, menunggu.
> "Tapi sekarang, semua akan terbuka. Semua nama, semua rekaman, semua kebusukan yang kusembunyikan—ada dalam file utama. Dan kamu satu-satunya yang bisa mengaksesnya."
> "Tapi kamu harus pilih: hidup normal tanpa bahaya, atau neraka dengan kemungkinan menyelamatkan negeri ini…"
Layar padam.
Komputer menyala dengan satu pesan di layar:
> Masukkan chip untuk akses penuh.
Nayla menatap chip itu. Tangan kirinya bergetar. Tapi ia memasukkannya.
Layar menyala lagi. Dan satu per satu, folder terbuka:
"REKAMAN PEJABAT"
"MAFIA INTERKONEKSI"
"PENGKHIANAT INTERNAL"
"NAMA-NAMA YANG MATI"
Namun ada satu folder yang terkunci: > R.A.
Nayla mengkliknya. Jendela password muncul.
Ia berpikir sejenak. Lalu mengetik:
"ReinaAdrian"
Folder terbuka.
Dan yang pertama muncul—adalah video.
Adrian duduk bersama seseorang. Wajahnya setengah tertutup bayangan. Tapi Nayla tahu… ia pernah lihat pria itu. Di foto lama. Yang dicoret tinta hitam.
Reina bilang dia tidak tahu siapa itu.
Tapi Adrian berkata:
> "Kamu yakin dia bisa dipercaya? Dia adikku."
Dan pria itu menjawab:
> "Adikmu mungkin. Tapi dalam permainan ini, tidak semua darah bisa jujur."
Menara Tua, Tanjung Priuk — 03:43 WIB
Nayla tak berkedip. Nafasnya tertahan. Suara Adrian dan pria misterius itu berhenti, tergantikan keheningan di ruangan tua yang hanya ditemani suara kipas komputer yang berdengung pelan.
Ia memutar ulang video. Menekuri tiap gerakan bibir, tiap sorot mata. Tapi yang membuatnya bergidik—bukan kata-kata Adrian, melainkan cara pria itu menatap kamera sebelum rekaman padam. Seolah tahu, seseorang akan menonton ini suatu hari nanti.
Nayla menutup folder. Ia kembali ke folder "REKAMAN PEJABAT".
Klik.
Puluhan file audio dan video bermunculan. Nama-nama besar terpampang jelas. Ada suara tawa seorang menteri saat menerima suap. Ada perintah pembunuhan terselubung dari seorang jenderal. Bahkan ada satu rekaman… suara perempuan yang sangat ia kenal.
Reina.
> "...kalau Nayla terlalu dekat dengan file utama, aku akan urus dia sendiri. Tak usah repot kirim orang."
Nayla membeku.
Tangannya langsung menutup laptop.
---
Branta Lintas — Ruang Server Cadangan, Saat yang Sama
Reina berdiri di depan tiga layar besar. Matanya menatap titik-titik merah yang menyebar seperti darah di peta digital.
"Dia sudah buka folder R.A," kata seseorang di belakangnya.
Reina tak menoleh. Tapi suaranya dingin: "Dan dia dengar rekaman itu?"
"Sepertinya ya. Kita deteksi respons detak jantungnya melonjak 48 persen saat file keempat diputar."
Reina menarik napas dalam. "Kirim tim. Tapi jangan dekati dia dulu. Tunggu sampai dia keluar dari menara."
"Dan kalau dia bawa file itu keluar?"
Reina memutar badan. Tatapan matanya keras. "Maka permainan ini berubah. Dia bukan lagi sandera. Tapi lawan."
---
Menara Tua — Lima Menit Kemudian
Nayla berdiri di depan meja tua. Laptop sudah ia cabut. Chip dan kartu memori dimasukkan ke dalam dompet kecil di bawah sepatunya.
Pikirannya kacau. Tenggorokannya kering. Tapi langkahnya mantap. Ia turun tangga dengan cepat.
Namun ketika mencapai lantai dasar—
Seseorang berdiri di depan pintu.
Bukan Reina.
Bukan pria besar dari atap Branta.
Orang ini lebih muda. Seragam hitam. Mata tertutup kacamata taktis. Ia mengangkat tangannya, memamerkan alat pemindai kecil.
"Benda yang kamu bawa... milik kami."
Nayla melangkah mundur. Tangannya meraba pisau lipat kecil di sakunya—bekas pemberian Adrian.
Pria itu melangkah maju.
Tapi sebelum dia bisa menyentuh Nayla—
BUM!
Sesuatu meledak dari luar. Pintu menara terlempar. Debu memenuhi ruangan.
Ketika asap menipis… pria itu sudah menghilang.
Dan berdiri di tempatnya—seseorang yang sangat Nayla kenal.
Adrian.
Berdarah. Luka di pelipis. Nafasnya terengah. Tapi hidup.
"Lari sekarang," katanya. "Mereka takkan berhenti sampai semua ini dihancurkan. Bahkan kalau itu harus termasuk aku."