Cherreads

Chapter 9 - BAB 9: PELATIHAN DANGEUN DAN BAYANGAN DARI UTARA

Pelatihan simulasi dungeon dimulai. Ruangan-ruangan gelap yang dibentuk sihir ilusi terasa nyata, seolah-olah mereka benar-benar sedang menjelajahi dungeon bawah tanah. Aroma tanah lembap, suara tetesan air, dan cahaya kristal yang redup menciptakan atmosfer yang menegangkan.

Rion memimpin kelompoknya dengan tenang. Ia berjalan paling depan, menggunakan insting dan ketajaman indranya untuk mencari jebakan maupun musuh buatan.

“Gerakannya seperti assassin profesional…” bisik salah satu murid di belakang.

“Padahal aku kira dia penyihir,” sahut murid lainnya.

Elysia hanya tersenyum kecil. (Mereka tak tahu apa-apa… dia bukan cuma assassin.)

“Diam kalian. Fokus,” kata Rion datar, tanpa menoleh. Seketika semua kembali serius.

Tiba-tiba, dari sudut gelap, muncul puluhan monster bayangan tiruan. Mereka menyerbu dengan kecepatan tinggi.

“Bentuk formasi! Elysia, cover belakang. Rin, Aiko, bersama denganku!” perintah Rion.

Meski hanya menggunakan skill assassin dan senjata pendeknya, Rion mengatasi monster itu dengan efisien. Gerakannya seperti bayangan: menghilang, muncul di belakang musuh, lalu menghabisinya dalam sekali serang. Satu per satu musuh tumbang tanpa sihir, hanya kecepatan dan teknik.

Rin menatap takjub. “Itu bukan gerakan orang biasa…”

“Dan dia belum pakai sihir sedikit pun,” gumam Aiko, mata masih mengikuti gerakan Rion.

Setelah beberapa menit, dungeon bagian pertama bersih. Semua kembali tenang. Tapi mendadak—

“DUAARRR!!”

Dinding dungeon retak, dan keluar seekor naga ilusi bersayap hitam—simulasi monster terkuat dungeon buatan.

“Wah! Kita belum siap lawan itu!” teriak salah satu murid.

“Rion! Pakai sihirmu!” teriak Rin panik.

Namun Rion tetap diam. Ia hanya menoleh ke belakang.

“Formasi bertahan. Aku akan mengalihkan perhatian naga itu.”

“Apa kau gila?!” bentak Aiko. “Kau bisa mati—eh, maksudku, luka parah!”

“Tenang,” jawab Rion datar, lalu menghilang dalam bayangan.

Pertarungan singkat terjadi. Rion memancing naga ke sisi lain dungeon, lalu menghabisinya dari titik buta dengan serangan beruntun di titik lemah monster. Meski monster itu akhirnya bangkit lagi karena ilusi, pertarungan cukup untuk menyelesaikan simulasi.

“Latihan berakhir!” teriak Guru Lick dari menara pengawas.

Semua murid bersorak. Tapi tidak dengan Haruto. Ia berjalan ke arah Rion.

“Kenapa kau menahan kekuatanmu?”

Rion menatapnya. Wajahnya datar seperti biasa. “Aku tidak ingin terlihat mencolok. Lagi pula… itu hanyalah separuh kekuatanku.”

Haruto membeku. “…Hanya separuh? Dia pasti bercanda,” gumamnya pelan, tapi suaranya terdengar jelas oleh Aiko, Rin, dan Elysia yang berdiri di dekatnya.

“Tidak bercanda,” tambah Rion ringan, lalu berjalan pergi meninggalkan mereka.

Seketika Haruto merasa punggungnya dingin. “…Monster.”

Sementara itu, di sudut lain…

Elysia tampak sedang sibuk sendiri. Ia berjalan di belakang Rion sambil bersenandung, lalu sengaja menabrak bahunya.

“Ups, maaf. Kayaknya aku terpeleset,” katanya sambil tersenyum nakal.

Rion menatapnya datar. “Lantai dungeon ini datar.”

“Oh ya?” Elysia tertawa kecil, lalu menyodorkan apel. “Mau makan? Aku kupas sendiri tadi.”

Rion mengangkat alis. “Kau bisa mengupas apel?”

Elysia menyeringai. “Bisa dong. Bentuknya mungkin jelek, tapi isinya manis. Kayak aku.”

Rion menghela napas. “Kau baru saja menyamakan dirimu dengan apel jelek.”

Rin yang melihat kejadian itu dari jauh hanya bisa menepuk kening. “Dewa... jagalah kewarasan kami.”

Aiko berbisik ke Rin, “Kau rasa... Elysia jatuh cinta ya?”

Rin tersenyum, “Kalau belum, sebentar lagi pasti.”

Guru Lion memperhatikan dari jauh dan bergumam pelan, “Sial... aku harus cari tahu siapa sebenarnya anak ini. Tapi... kenapa rasanya seperti melihat legenda berjalan?”

Sementara itu, Rion melirik ke langit yang cerah dan berbisik lirih.

“Separuh kekuatan, huh… Dunia ini belum siap melihat seluruhnya.”

Tentu, berikut kelanjutan cerita dari konflik baru yang muncul di Kerajaan Eldrador:

 

Di dalam ruang singgasana yang megah, Raja Alaric IV duduk dengan penuh wibawa di atas tahtanya. Meski wajahnya tampak tenang, sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang tersamar.

"Sudah beberapa bulan sejak kemunculan pemuda bernama Rion..." gumamnya pelan, menatap ke luar jendela istana. "Namun belum ada tanda-tanda bahaya dari Akademi Astrea. Putriku pun tampak nyaman berada di sana."

Namun, ketenangan itu hanya sementara.

Pintu utama ruang singgasana terbuka. Seorang utusan berpakaian serba hitam dengan jubah panjang memasuki ruangan, diiringi oleh para pengawal kerajaan. Ia menunduk hormat di hadapan Raja Alaric IV.

"Hamba datang membawa pesan penting dari Kerajaan Thorvania, Yang Mulia," ucap sang utusan dengan suara berat namun penuh hormat.

"Thorvania?" dahi Raja Alaric mengernyit. "Apa yang terjadi di sana?"

Sang utusan membuka gulungan surat bersegel merah dan mulai membacakannya:

> "Salam dari Raja Vardos IX, Penguasa Kerajaan Thorvania.

Dengan berat hati kami memberitahukan bahwa kekuatan gelap telah bangkit di bagian utara kerajaan kami. Sebuah kota kecil bernama Verlindar dilaporkan hilang dalam semalam. Tidak ada yang selamat.

Kami percaya ini adalah pergerakan dari salah satu Jenderal Raja Iblis yang lama tersembunyi.

Atas dasar ancaman ini, kami mengusulkan kerja sama militer dengan Kerajaan Eldrador, termasuk pelatihan bersama para pahlawan di bawah naungan Akademi Astrea.

Kami mohon balasan secepatnya.

Hormat kami,

Raja Vardos IX – Kerajaan Thorvania."

Raja Alaric menggenggam erat lengan tahtanya. “Jenderal Raja Iblis... lagi?” gumamnya penuh kekhawatiran. “Kami baru saja mengalahkan satu di Dungeon level 80, dan kini muncul lagi di luar wilayah.”

Utusan itu kembali menunduk. "Itu saja yang bisa hamba sampaikan, Yang Mulia. Izinkan hamba kembali ke Thorvania."

"Pergilah. Sampaikan bahwa Eldrador menerima permintaan mereka. Aku akan mengirim balasan resmi secepatnya."

Setelah sang utusan pergi, Raja Alaric memanggil para penasihat dan segera menulis surat ke Akademi Astrea untuk memanggil para pahlawan muda, termasuk Rion, agar bersiap menghadapi ancaman besar ini.

More Chapters