Ledakan dahsyat mengguncang langit.
Arena seolah hendak runtuh, tiang-tiang sihir penyangga mulai retak, dan monster itu kini telah mencapai puncak kekuatannya.
Tubuhnya berubah total—kulitnya menghitam seperti arang membara, dua pasang sayap melingkar di punggungnya seperti bayangan maut. Mulutnya mengeluarkan mantra-mantra purba yang menebarkan kutukan di udara.
Rion, kini terhimpit.
Serangan bertubi-tubi dari monster dan Zevran menghantamnya secara bersamaan. Debu membumbung tinggi, dan siluet Rion terpental keras ke tanah, menciptakan kawah besar di tengah arena.
“RION!!” teriak Elysia dengan panik, tubuhnya berdiri setengah dari tempat duduk. Seraphina pun menggenggam erat gagang kursinya, matanya membelalak.
“T-Tidak mungkin... dia benar-benar terpojok?” gumam Aiko, keringat menetes dari dahinya.
Yui menggigit bibirnya. Rin dan Haruto berdiri tanpa sadar dari kursi mereka, jantung mereka berpacu cepat.
Daiki mengepalkan tinjunya. “Jangan kalah… Rion… kau belum kalah, kan?”
Namun… di tengah kehancuran itu—udara mulai berubah.
Suatu hawa dingin yang belum pernah dirasakan sebelumnya menyapu seluruh arena. Uap putih menyelimuti udara, langit menjadi kelabu.
Salju mulai turun.
Rion perlahan berdiri dari kawah tempatnya terjatuh. Tubuhnya berdiri tegak, tenang, namun aura di sekelilingnya... berubah total.
Seragam akademinya telah terobek sebagian dan perlahan menghilang seperti debu kristal, tergantikan oleh pakaian kerajaan berwarna biru pekat dengan bordiran perak dan jubah panjang bertabur kristal yang berkilau dalam cahaya redup.
Rambut hitamnya kini telah berubah menjadi putih seputih salju, menjuntai elegan tertiup angin dingin yang dia hasilkan.
Matanya bersinar biru terang, seperti danau beku yang menyimpan badai di kedalamannya.
“Jadi… jadi ini kekuatan aslinya…” ujar Elysia, tak percaya, air matanya mengalir tanpa disadari. Wajahnya memerah, bukan karena takut—tapi karena kagum yang menyayat hati.
Seraphina menutup mulutnya, berbisik, “Rion… kau…”
Aiko, Yui, Rin, Haruto, dan Daiki membeku di tempat.
“Dia bukan manusia biasa…” gumam Haruto.
“Ini bahkan bukan sihir… ini… kekuatan dewa,” ucap Rin.
Yui bergetar. “Tak heran dia tidak ikut latihan… dia tidak perlu…”
Daiki menatap kosong ke depan. “Apa selama ini… dia hanya menunggu waktu yang tepat…”
Zevran terdiam. Untuk pertama kalinya—senyumnya menghilang.
Monster itu mengaum lagi, mencoba menebarkan kekuatan sihir hitamnya. Namun… seluruh arena mulai membeku. Hanya langkah Rion yang terdengar kini, pelan tapi pasti, seolah waktu melambat saat ia berjalan maju.
“Apa... kau siap untuk ronde kedua?”
Suara Rion lirih, namun menggema seperti badai petir yang menggelegar di telinga.
“Hati-hati, kalian mungkin akan membeku hanya karena berada terlalu dekat denganku,” lanjutnya dengan senyum kecil dan tatapan dingin menusuk.
Kini seluruh arena membeku. Monster itu meraung, Zevran mundur setengah langkah, dan semua mata—murid, guru, pahlawan, bangsawan, hingga penonton yang panik—terpaku pada satu sosok itu.
Rion.
Sosok yang selama ini mereka remehkan.
Sosok yang mereka ragukan.
Sosok yang kini—menjadi harapan terakhir mereka.
“Itu... tak mungkin...” bisik Elyndor, berdiri gemetar, wajahnya pucat seputih kertas.
Para guru lain menoleh padanya. Profesor Maelis, Instruktur Rovan, dan Master Aegir menatap Elyndor dengan bingung.
“Apa maksudmu, Elyndor?” tanya Profesor Maelis.
Elyndor menelan ludah, matanya tak lepas dari sosok Rion yang kini melangkah di atas es abadi. “Rambut putih, mata biru dingin, kekuatan salju yang menjalari udara dan menyegel waktu… Ini bukan sihir biasa. Ini... ini warisan Raja Es Abadi.”
“Kau bercanda...” ujar Rovan lirih.
“Tapi bukankah Raja Es itu telah tiada ribuan tahun lalu?” tanya Maelis, matanya menyipit, mengingat cerita lama.
Elyndor menggeleng perlahan. “Tidak... dia tidak tiada. Ia menghilang, menyegel dirinya dalam dunia beku... dan meninggalkan takhta tanpa penerus... sampai sekarang.”
Kejutan menyapu ruang guru. Suasana hening mencekam, seolah hanya napas mereka yang terdengar, menyaksikan putra beku dari legenda itu berdiri di hadapan monster kegelapan.
Pertarungan kembali dimulai.
Monster bersayap hitam itu melayang, mengeluarkan raungan bertenaga kegelapan dan memuntahkan badai api hitam ke arah Rion.
Namun Rion...
Tidak bergerak.
Seketika es abadi membentuk dinding raksasa setinggi langit—bening dan memantulkan api seperti cermin—dan menyerap seluruh serangan itu sebelum meledak jadi pecahan-pecahan salju yang perlahan jatuh seperti hujan musim dingin.
“Tidak buruk,” gumam Rion dengan tenang, matanya setajam bilah belati es.
Senyumnya tipis, tak berubah dari sebelumnya, seolah pertarungan ini hanya sekadar permainan sore hari.
Monster itu menggeram, menghantam tanah, dan melesat maju dengan cakarnya yang runcing—namun Rion menghilang, dan muncul di belakangnya dengan kecepatan yang bahkan tak bisa diikuti oleh mata biasa.
“Frozen Step.”
Sekeliling monster membeku seketika—udara, tanah, bahkan bayangan monster itu tak bisa bergerak. Dalam sekejap, arena menjadi ranjang es mematikan, dan setiap langkah Rion menciptakan pola kristal yang memancarkan aura kebekuan abadi.
Rion mengangkat tangannya. Sihir esnya tak lagi seperti sebelumnya—ini bukan sihir manusia. Ini... es yang tak bisa mencair, es yang menyatu dengan dimensi itu sendiri.
“Arctic Judgment.”
Langit terbelah. Di atas awan, lingkaran sihir raksasa berwarna biru keperakan terbentuk. Ribuan tombak es bermata kristal muncul mengelilingi arena, mengambang—diam sejenak seperti menunggu aba-aba kematian.
Monster itu meraung, melesat untuk menyerang Rion terakhir kalinya.
Namun, dalam satu sentakan jari…
“Hancurkan.”
Tombak-tombak itu melesat sekaligus—melesak menembus udara, menciptakan gelombang kejut maha dahsyat. Mereka menghantam monster itu dari semua arah—membekukan, menembus, dan menghancurkan tubuh raksasa itu hingga hanya tersisa serpihan es dan bayangan kegelapan yang menguap perlahan.
Arena hening.
Salju turun semakin deras, menutupi bekas-bekas kehancuran. Dan di tengah badai putih itu—Rion berdiri, tak tergores sedikit pun, dengan tatapan tenang dan senyum kecilnya yang tak pernah padam.
Semua orang diam.
Para pahlawan hanya bisa menatap.
Aiko menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca.
Yui menggenggam erat tangan Rin.
Haruto dan Daiki duduk tak bersuara.
Seraphina menangis diam-diam, terpesona dan gentar.
Elysia meneteskan air mata dengan senyum penuh kebanggaan dan cinta.
Mereka semua tahu—
Rion bukan hanya sekadar rekan, bukan sekadar pahlawan.
Dia adalah… raja musim dingin yang bangkit kembali.
Bersambung......