Cherreads

Chapter 9 - Bab 9 – Dunia Pedang, Cermin Dosa

Langit malam telah jatuh ke jurang hitam, hanya bersisa bayangan bulan pucat. Gohan terjaga, matanya melebar—ia terdampar di sebuah ruang putih yang sunyi, tanpa sudut, seakan berada di dalam cermin bercahaya. Pedang emas-hitam menghilang dari punggungnya, dan di tangannya hanya pedang kayu usang.

"Eh? Ini di mana...?" gumamnya pelan, nafaskan dingin menusuk tulang rusuk. Suara gema menjawab, tapi bukan suaranya—melainkan bisikan berlapis, seperti ratusan janji dan dosa yang bergulung di satu rongga.

Dunia di sekitarnya bergerak—bukan geografis, tapi realita bergeser: ia melihat kilasan dirinya sendiri, tetapi bukan seperti dirinya—ia garang, wajahnya keruh, penuh luka, dan tangannya memegang pedang yang memancarkan kejam, bukan cinta.

Langkah kakinya menapak di lantai halus seperti es. Di hadapannya, pedang panjang berkilat—berinanasi seperti pedang langit. Ia berjalan pelan, jantungnya berdegup cepat. Setiap detik di ruang itu seperti memutar ulang kebenaran yang belum pernah diakuinya.

Tiba-tiba, di belakangnya muncul bayangan: sepenggal sosok berkerudung–roh pewaris ke-6. Dia menatap Gohan dari balik bayangan putih, matanya dalam dan dingin. "Selamat datang... di ruang pedang." Suaranya tenang tapi menusuk. "Aku... engkau... pewaris sebelum pewaris. Aku pembawa bencana. Kau pikir kau lebih baik?"

Gohan terkesiap: ia merasa ruang ini melihat semua hatinya—kesombongan, ketakutan, pengorbanan.

Roh itu mencondong dan menempelkan pedangnya ke tanah. Pedangnya langsung membeku, membentuk retakan hitam. "Jika kau bukan algojo, buktikan. Ambillah pedang ini... dan terimalah seberat dosa kami."

Gulungan udara dingin masuk. Pedang itu berkilat mengundang—tapi juga menjijikkan. Gohan menatapnya, tergesa. "Aku... tidak yakin..." Matanya berkaca. Ia tahu: ruang ini bukan sekadar tes, tapi tempat penghakiman.

Tiba-tiba, lantai putih retak—membentuk pola seperti air terjun kaca, kemudian seketika membeku menjadi cermin es besar. Cahaya pedang yang terbakar memantul, membentuk aural lain. Gohan menatap refleksinya—ia bukan hanya orang desa polos; ia adalah campuran darah dewa dan kejinya masa depan.

Cermin itu bersuara: "Aku dulu berpikir aku layak… tapi kebenaran adalah: kami adalah algojo, bukan pahlawan. Kau selanjutnya, Pewaris Ketujuh." Suara itu tidak berteriak—melainkan menari di tulang telinga Gohan, menggetarkan.

Dan pedang kayu di tangannya retak, terbelah—mengungkapkan pedang emas-hitam yang baru muncul di darahnya. "Pilih--algojo yang menebas bintang, atau pelindung yang menuntun dunia?"

Gohan menggigil. Ia menarik napas panjang... dan mengangkat pedang emas-hitam itu perlahan. Darah emasnya mengalir ke hilir pedang, menyalakan aura.

Roh pewaris ke-6 menyeringai: pedangnya menyala lebih terang daripada pedang Gohan yang samar. "Kita bertarung bukan demi menang, tapi agar kau tahu apa yang akan kau bawa ke dunia."

Pertarungan itu bukan duel fisik, tapi batin—pedang menari melawan pedang... tetapi lebih penting, hati menantang hatinya. Cahaya emas dan hitam bergulir membentuk angin luas di ruang putih.

Setiap ayunan memecah retakan di cermin es, menspam kata dosa yang memenuhi ruang tersebut. Gohan terhuyung, terbakar emosinya, mengeluarkan kekuatan yang belum pernah ia rasakan—gemuruh darah emas berdetak liar, naga hijau kecil muncul—memutari pedangnya, membara, melindungi.

Roh pewaris ke-6 tertawa getir: "Cepat kau benturkan. Pecahkan segel atau kau akan jadi kami—algojo pura-pura pahlawan."

Gohan menggoyangkan tubuh, menahan guncangan batin agar tidak roboh. Insecure melanda; ia ingat semua korban yang ia tolong, tapi juga semua pujian bodoh yang pernah menyesatkan hatinya.

Tiba-tiba, dunia bergelap hitam sekejap. Kilasan muncul: Bayangan Bu Ah, menancapkan pedang ke dadanya... Xiulan menangis, Qin mematung di arena runtuh... Wuji menatap dan tersenyum dingin...

Gohan menjerit dalam hati: "Aku tidak ingin ini terus terjadi!" Dan ia merespon: "Akulah pelindung! Aku bukan algojo."

Pedang emas-hitam bergetar, meledak vegetasi energi hijau—menyapu retakan dan cermin es. Ruang putih bergelombang, semua kelabu memudar. Roh pewaris ke-6 mundur, pedangnya pecah menjadi serpihan.

Saat serpihan pecah, cermin es meledak dan terbuka pintu besar—pintu ke dunia sebenarnya. Di baliknya gelap dan suram—tapi ada sinar kecil. Terselip bisikan: "Kau akan menuntaskan dosa kami."

Gohan berdiri gememetar, menatap Xiulan dan Qin yang kini muncul di sisi matanya—mereka tersenyum haru.

"Kau melawan bayangmu... tapi jalanmu belum selesai," bisik ruang kosong itu. "Pertarunganmu di dunia nyata menanti—dan bayangan yang kau kalahkan di sini akan mempengaruhi kekuatan aslimu."

Dengan satu hembus napas, Gohan melangkah keluar. Ruang putih pudar; ia kembali di atas reruntuhan tribun, di tengah para murid dan guru yang terpaku.

Tubuhnya penuh luka dan kelelahan. Tapi di matanya ada aura dingin dan jelas: ia bukan bocah desa dungu lagi.

Para murid diam. Yue berlari dan memeluknya erat. Qin menatap bangga. Bahkan Patriark sekte memandangnya dengan hormat.

Namun udara masih menahan kehampaan—karena kini pasar perdataan yang baru sudah menanti dari dalam kegelapan

Tiba-tiba, langit malam kembali pecah satu kilatan cahaya. Pedang Gohan bergetar dan memancarkan cahaya emas-hitam. Dalam pandangannya terasa... panggilan.

Terdengar suara gamelan magis di luar arena: "Tuan Gohan... uji nyala tiga nafas."

Dan di tengah tepuk tangan gugup, Gohan melihat bayangan naga hijau besar muncul di langit—di atas Langit Tengah. Tepat saat itu, suara menjalar di angin: "Naga akan bangkit—tiga hembusan waktumu hampir habis."

Para penonton mundur. Gohan menelan ludah, dadanya sesak. Ia tahu—pertarungan sebenarnya baru akan dimulai.

More Chapters