...
Hari-hari setelah kepergian Sarah terasa seperti dunia kehilangan warna. Semuanya tetap berjalan: matahari tetap terbit, lalu lintas tetap ramai, dan dosen tetap membagikan tugas seperti biasa. Tapi buatku, semuanya hambar.
Ada kekosongan yang tak bisa dijelaskan, seperti bangun di rumah yang baru direnovasi—dindingnya masih sama, tapi rasanya tidak lagi familiar.
Aku mencoba mengalihkan diri.
Mulai banyak membaca, ikut seminar ini itu, bahkan kembali bermain gitar yang sempat kutinggalkan. Tapi tetap saja, di sela-sela lagu, di halaman buku, di jeda antara percakapan dengan teman-teman... bayangan Sarah menyelinap diam-diam.
Pernah suatu malam, aku membuka galeri HP. Entah kenapa jariku secara otomatis menggulir ke folder "Kami". Foto-foto kami masih tersimpan rapi. Tertawa di taman, duduk di halte kampus, selfie dengan bibir monyong di warung mi ayam langganan.
Aku tahu aku harus menghapusnya. Tapi jariku tak pernah sanggup menekan tombol delete.
Bukan karena aku belum move on. Tapi karena menghapusnya terasa seperti menyangkal bahwa semua itu pernah nyata.
Aku juga mulai sering bermimpi.
Dalam mimpi-mimpi itu, Sarah masih bersamaku. Kami duduk di taman, berbicara tentang masa depan. Kadang dia tersenyum. Kadang dia hanya diam menatapku, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak sempat dia ucapkan malam itu.
Tapi setiap kali aku terbangun, perasaannya selalu sama: kosong. Mimpi itu bukan harapan. Hanya pengingat bahwa yang hilang... masih bersemayam dalam ingatan.
Teman-temanku mulai bertanya. "Lo kenapa, Tio?"
Aku hanya menjawab, "Lagi banyak tugas."
Mereka tertawa, dan obrolan berganti topik.
Tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya aku sedang berperang di dalam diri sendiri—perang antara logika yang menyuruhku melupakan, dan hati yang masih memegang sisa kenangan.
Malam-malam jadi musuhku. Sunyi mengajak ingatan berjalan ke tempat yang paling tak ingin kutuju.
Kadang aku menulis, berharap bisa menuangkan rasa ke dalam kata. Tapi setiap kali pena menyentuh kertas, aku berhenti. Karena aku sadar: aku tidak tahu bagaimana memberi nama pada rasa ini.
Ini bukan sekadar rindu. Bukan juga sekadar patah hati.
Ini adalah luka yang diam-diam tumbuh, tak berdarah, tapi menyiksa.
Luka yang tak pernah sempat benar-benar dijelaskan.
Tak pernah sempat diberi alasan.
Tak pernah sempat… diberi nama.
Dan mungkin, itulah luka yang paling sulit sembuh: luka yang tak tahu apa sebenarnya yang hilang… selain dirinya.
...