Cherreads

Youjo senki [bahasa Indonesia]

paiandmatcha
14
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 14 chs / week.
--
NOT RATINGS
1.9k
Views
Synopsis
Youjo Senki (幼女戦記) Penulis: Carlo Zen Ilustrator: Shinobu Shinotsuki Penerbit: Enterbrain (Jepang) Sinopsis Di garis depan perang, ada seorang gadis kecil. Berambut pirang, bermata biru, dan berkulit putih pucat, dia memimpin pasukan dengan suara cadel. Namanya Tanya Degurechaff. Namun pada kenyataannya, dia adalah salah satu pegawai kantoran paling elit di Jepang, terlahir kembali sebagai seorang gadis kecil setelah membuat marah makhluk misterius X yang menyebut dirinya "Dewa." Dan gadis kecil ini, yang mengutamakan efisiensi dan kariernya sendiri, akan menjadi makhluk paling berbahaya di antara para penyihir tentara kekaisaran...
VIEW MORE

Chapter 1 - PROLOG

C.E. 18 Juli 1914, Ibu Kota Kekaisaran Berlun / Suatu Tempat

Hal pertama yang "ia" rasakan adalah cahaya menyilaukan. Dikelilingi oleh sensasi lembut dan hangat yang terasa tak nyata, "ia" menikmati sejenak kedamaian. Kehangatan yang terasa sedikit menyengat ini bisa membuat seseorang benar-benar lupa diri. Lupa diri? Benar, seolah ada sesuatu yang hilang, tapi... apa itu? Apa yang telah terlupakan?

Sebelum sempat berpikir lebih jauh, "ia" mulai gemetar secara tiba-tiba. Setelah jeda singkat, pikirannya mulai menyadari sensasi dingin; dingin yang bisa menembus kulit dengan mudah. Seperti bayi yang baru lahir dan merasakan dingin untuk pertama kali. Namun subjek ini tidak memiliki kemewahan untuk benar-benar menikmati pengalaman tersebut.

Seolah-olah dihantam oleh sensasi yang dulunya dikenalnya namun telah terlupakan, "ia" mulai panik di bawah tekanan rasa sesak luar biasa, dan mulai meronta.

Paru-paru, tubuh, setiap sel di dalam tubuhnya menjerit meminta oksigen. Rasa sakitnya tak tertahankan. Tak mampu tetap tenang atau berpikir, satu-satunya yang bisa "ia" lakukan adalah berjuang.

Tanpa kendali atas tubuh, satu-satunya hal yang bisa "ia" lakukan adalah meronta dalam penderitaan. Rasa sakit dan siksaan dengan mudah mengaburkan kesadarannya, dan kemudian, seolah-olah terbebas dari keberadaan manusia yang sudah lama tidak menangis, tubuhnya mulai menangis secara naluriah.

Dengan kesadaran yang kabur dan identitas diri yang kacau, "ia" membuka mata dan melihat langit kelabu. Dunia yang buram... Tidak, mungkin hanya penglihatannya yang kabur? Dunia yang terdistorsi terlihat melalui lensa yang tak cocok. Garis-garis besar tampak kabur dan warnanya kacau, bahkan "ia" yang selama bertahun-tahun nyaris tak memiliki emosi pun mulai merasakan kegelisahan.

Setelah waktu yang terasa seperti tiga tahun secara objektif, "ia" akhirnya mulai mendapatkan kembali kesadaran dan bentuknya, yang tersisa hanyalah kebingungan murni.

Sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang terjadi padaku? "Ia" telah memasuki wadah yang tak mampu mempertahankan kesadaran dalam waktu lama, dan tetap tidak mampu mengingat sepenuhnya apa yang terjadi. Maka dari itu, "ia" tidak bisa memahami mengapa suara tangisan bayi yang samar-samar terdengar setiap kali kesadarannya mulai memudar selalu membuatnya merasa malu.

Orang dewasa mungkin bisa menahan tangis, tapi bayi? Tentu saja mereka menangis. Dalam kondisi normal dan perlindungan yang layak, bayi seharusnya tidak merasa "malu." Maka dari itu, dengan kesadaran dan indranya yang masih kacau, "ia" mulai rileks, dan melemparkan perasaan malu yang tak jelas itu ke dalam sudut paling dalam ingatannya.

Setelah itu, meski masih diliputi kebingungan, "ia" mulai memahami situasi secara umum. Namun justru pemahaman itu malah menambah kebingungan. "Ia" jelas mengingat sedang berada di peron jalur Yamanote. Namun ketika tersadar kembali, "ia" sudah berada di dalam bangunan batu bergaya Barat yang tebal, dengan seorang suster seperti pengasuh yang sedang mengusap bibirnya. Jika ini rumah sakit, bisa disimpulkan bahwa mungkin terjadi kecelakaan. Itu juga bisa menjelaskan mengapa penglihatannya kabur akibat cedera.

Namun, ketika matanya mulai mampu melihat dengan jelas, yang terlihat hanyalah para biarawati dalam pakaian kuno di bawah cahaya remang. Alasan cahaya yang redup... jika tidak salah, karena lampu gas — jelas berasal dari era yang berbeda.

"Ayo, Tanya-chan, aaaaah—"

Pada saat yang sama, "ia" menyadari keanehan lainnya, tidak ada satu pun peralatan listrik di ruangan ini. Di masyarakat modern tahun 2013, ruangan ini terlalu dipenuhi barang tua yang tak berguna dan sama sekali tidak memiliki perlengkapan elektronik. Apakah orang-orang ini kaum konservatif Mennonite, atau mungkin Amish? Tapi tetap saja... kenapa? Kenapa aku ada di sini?

"Tanya-chan? Tanya-channn?"

Situasi yang tak bisa dijelaskan. Pertanyaan demi pertanyaan terus menumpuk tanpa henti.

"Baiklah, ayo buka mulut, Tanya-chan."

Pertanyaan terpenting yang harus dijawab saat ini adalah, "Sebenarnya apa yang terjadi?" Maka, "ia" mengalihkan pandangannya pada sendok yang disodorkan di depannya, tetapi meski "ia" menyadari keberadaan sendok itu, pikiran bahwa sendok itu untuk dirinya belum muncul di benaknya. Yang ada hanya kebingungan: kenapa orang yang dipanggil 'Tanya" belum juga makan?

Namun suster di depannya (yang tampaknya kehilangan kesabaran) tersenyum lembut, tanpa memberi pilihan lain, dan menyuapkan sendok itu langsung ke mulutnya.

"Jangan pilih-pilih makanan. Ayo. Aaaaah——"

Itu adalah sendok berisi sayur rebus, dan bersamaan dengan sendok itu, tanpa ragu lagi, "Tanya" ditarik kembali ke realitas.

Sayuran rebus yang terlalu matang itu satu-satunya yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Namun, fakta bahwa dirinyalah yang dipaksa makan di tengah situasi tak masuk akal ini semakin membingungkan pikirannya. Dengan kata lain, itu... adalah aku. Yang mereka panggil Tanya.

Dan kemudian "ia" berteriak dalam hatinya—"Kenapa!?"

Masehi, 14 Agustus 1971 – Amerika Serikat

Pada tanggal 14 Agustus 1971, setelah menerima permintaan penyelidikan dari Kantor Riset Angkatan Laut (Office of Naval Research/ONR), kelompok penelitian Dr. Philip Zimbardo memulai sebuah eksperimen tertentu. Eksperimen tersebut dirancang untuk berlangsung selama dua minggu. Tujuannya adalah mengumpulkan data dan memahami secara dasar masalah-masalah yang dihadapi marinir saat ditempatkan di penjara Angkatan Laut.

Para peserta yang dipilih untuk eksperimen ini semuanya adalah mahasiswa universitas yang sehat secara fisik maupun mental.

Namun, baru pada hari kedua eksperimen, mereka sudah menghadapi masalah besar dari sisi etika. Para mahasiswa yang berperan sebagai tahanan mulai mengalami penghinaan dan cercaan berat dari para mahasiswa yang berperan sebagai penjaga, yang kemudian berkembang menjadi kekerasan langsung. Perilaku amoral dan tak etis seperti itu terus terjadi selama eksperimen, yang akhirnya membuat eksperimen ini dihentikan hanya setelah enam hari.

Eksperimen ini kemudian dikenal dengan nama "Eksperimen Penjara Stanford." Meskipun menimbulkan kontroversi luas dan dilema etika, hasil dari eksperimen ini, jika dilihat dari sudut pandang psikologi murni, justru menghasilkan banyak pemahaman yang kaya dan mencerahkan. Bila digabungkan dengan "Eksperimen Milgram" yang dilakukan sebelumnya, kedua eksperimen ini mengungkapkan berbagai wawasan menarik tentang sifat dasar manusia.

Di lingkungan yang terisolasi, manusia tunduk pada kekuasaan dan otoritas, dan mereka yang diberi otoritas akan menggunakannya tanpa batas. Setelah menganalisis situasi ini yang disebut "Kepatuhan terhadap Otoritas," kesimpulannya memberikan dampak besar. Yang mengejutkan adalah, fenomena ini tidak berhubungan dengan akal sehat, nurani, atau kepribadian seseorang; namun berasal dari peran yang dijalankan oleh individu tersebut.

Dengan kata lain, kedua eksperimen ini dengan jelas menunjukkan bahwa manusia akan tunduk pada lingkungannya, bahkan sampai rela mengabaikan akal dan hati nurani mereka sendiri. Jika dikatakan secara ekstrem: siapa pun dapat menjadi penjaga penjara di Auschwitz.

Dengan demikian, secara logis, manusia selalu dipengaruhi oleh lingkungan mereka, dan ini menyebabkan mereka berperilaku jauh dari sifat aslinya.

Setelah mempelajari kenyataan seperti ini tentang manusia selama masa kuliah, hal pertama yang aku rasakan bukanlah ketidaknyamanan, melainkan penerimaan alami—seolah-olah aku memang sudah menduganya.

Saat di sekolah dasar, kurikulum wajib negara mengajarkan bahwa semua manusia setara. Kita belajar bahwa semua orang memiliki nilai dan tak tergantikan. Namun, dari sana saja, kita sudah bisa melihat bahwa kenyataannya tidaklah setara.

Kenapa murid di depan lebih tinggi dariku?

Kenapa ada yang jago bermain dodgeball dan yang lain tidak?

Kenapa murid di sebelahku tidak bisa menyelesaikan soal sesederhana itu?

Kenapa murid di belakangku tidak bisa diam dan mendengarkan guru?

Namun, siswa SD ditempatkan dalam lingkungan "Jadilah Anak Baik." Meskipun semua orang berbeda, tetap harus dikatakan bahwa semua orang itu penting. Jika tidak mengikuti aturan itu, mereka akan dicap sebagai "Anak Nakal."

Maka dari itu, "Anak Baik" akan berusaha keras agar tidak menjadi "Anak Nakal."

Lalu saat mempersiapkan ujian masuk SMP, "Anak Baik" mulai meremehkan "Anak Nakal" dalam hati mereka, menjauh dari mereka. Mereka yang berhasil masuk sekolah menengah yang bagus, lalu lanjut ke SMA elit dengan tingkat kelulusan universitas tinggi, akan mengejar kesempurnaan dalam sistem itu, mengikuti jalan tercepat menuju sukses.

Untuk terus menjadi "Anak Baik" dalam lingkungan ini, mereka harus terus memenuhi tuntutan orang lain dan tidak mengecewakan harapan siapa pun.

Setiap hari membaca buku pelajaran dan referensi, membandingkan nilai dengan siswa lain, seolah-olah terjebak dalam "perang ujian." Mereka menganggap siswa yang hanya main game tiap hari sebagai pecundang. Di lingkungan di mana nilai akademik adalah segalanya, secara alami mereka merendahkan yang nilainya buruk. Sebaliknya, murid yang nilainya rendah pun tidak percaya diri—karena harga diri mereka sudah lama dihancurkan oleh para jenius itu.

Saat mereka masih berkutat dengan pelajaran, para jenius itu sudah ikut Olimpiade Fisika atau Matematika Internasional. Belajar di ruang yang sama dengan orang-orang jenius yang menganggap jawaban benar sebagai hal biasa mustahil bisa disamai hanya dengan kerja keras luar biasa. Namun, meski dari sudut pandang yang bengkok, mereka setidaknya mempelajari sedikit kenyataan hidup.

Orang-orang lain yang mengikuti ujian, bahkan jika enggan, akhirnya memahami kenyataan itu. Dengan pendapatan orang tua yang tinggi, target minimum adalah masuk universitas top dan mendapatkan pekerjaan bergengsi. Maka, mereka pun menjadi seperti pemuda lain, penuh semangat untuk memperbaiki diri. Ketakutan akan ketertinggalan membuat mereka menggenggam erat meja belajar.

Setelah berhasil masuk universitas ternama dalam perang ujian ini, aturan permainan berubah. Disadari atau tidak, sebagian besar orang mulai menyadari bahwa dunia mulai menilai berdasarkan "Apa yang telah kamu lakukan" bukan lagi "nilai bagus."

Dan mereka yang bisa beradaptasi dengan aturan baru inilah yang mampu bertahan.

Satu pihak taat, memanfaatkan celah dan mempermainkan aturan, sementara pihak lain tetap terbelenggu oleh aturan.

Pada akhirnya, yang mereka pelajari adalah bahwa aturan adalah elemen tak tergantikan untuk optimalisasi sistem. Kebebasan yang tak terkendali hanyalah kehancuran murni; aturan tanpa kebebasan hanyalah tirani murni. Maka meskipun ia membenci belenggu, ia juga takut akan kebebasan yang sepenuhnya tak terbatas.

Ia tak bisa memahami orang yang datang terlambat ke kelas, tak bisa memahami nilai hidup dari orang yang mabuk dan tertidur di pinggir jalan, atau otak orang dari jurusan Olahraga yang selalu bicara tentang semangat.

Sebaliknya, ia merasa sangat puas karena mampu menjelaskan hubungan antara aturan dan kebebasan dalam konferensi Chicago School. Menurutnya, selama seseorang menaati aturan, ia bisa terus melangkah di jalur yang benar. Sambil berpura-pura menjadi siswa rajin, ia menyembunyikan kenyataan bahwa ia seorang otaku. Menurutnya, itulah arti dari kebebasan dalam batas aturan.

Teman-temannya, selain dari masa SMA, adalah orang-orang di universitas yang punya minat sama. Mereka membangun hubungan dan kemampuan sosial, sembari menghabiskan waktu luang sebelum masuk ke dunia kerja. Tentu, mereka tetap berinvestasi dengan rajin, mengasah keterampilan, belajar bahasa, dan etiket sampai mencapai standar. Setelah itu, dengan teori sinyal sosial, ia akan segera menjadi mahasiswa teladan yang dipuji.

Namun, permintaan terhadap orang seperti ini ternyata bukan soal kemampuan, tapi soal apa yang tercantum di resume. Mereka yang punya nilai masuk bagus, lulusan universitas ternama, dan kenalan dengan pewawancara, adalah kandidat terbaik. Maka, gelombang pengangguran lulusan universitas pun tidak dianggap hambatan besar.

Karena titik awalnya memang berbeda. Kalau bicara fakta, ini seperti lomba lari dengan handicap. Mengunjungi senior di perusahaan sebelum wawancara adalah hal wajib. Belum lagi harus mengajak HRD minum dan mengobrol.

Jangan sebut soal senior SMA atau kampus yang kini menjadi pewawancara. Mereka akan langsung memberi saran, "HR perusahaan itu sedang cari orang dengan profil seperti kamu. Pakai saja ini di wawancara." Dengan kesempatan seperti ini, bahkan orang biasa pun bisa dapat kerja dengan mudah. Selama tidak terlalu pilih-pilih, gaji layak bisa diperoleh. Menjadi roda penggerak masyarakat, menjalankan tugas sesuai perintah tanpa keluhan. Lalu, tanpa sadar, sebutan diri yang dulunya "boku" berubah menjadi "watashi."

Etos kerja? Gaya pribadi? Kreativitas? Selama bayarannya setimpal, pekerja yang berguna tidak akan mempertanyakan isi pekerjaannya. Dan perusahaan pun hanya ingin orang yang bisa bekerja dengan hasil memuaskan. Mengikuti teori bisnis tanpa ragu, mendahulukan profit. Terbiasa menjadi "budak korporat" sebenarnya tidaklah sulit.

Tanpa hati? Seperti cyborg? Darah dingin? Tidak manusiawi? Hal-hal semacam itu cuma dirisaukan di awal. Jeritan menyedihkan seperti itu sulit dimengerti, dan ia takut pada orang-orang yang sudah gila dan hampir menggunakan kekerasan. Tapi, seperti saat sekolah dulu—ia akhirnya terbiasa.

Manusia adalah makhluk yang bisa beradaptasi. Adaptasi lingkungan artinya memainkan peran yang diberikan. Jika kau penjaga, maka jalankan peran penjaga. Jika kau tahanan, jalankan peran tahanan. Begitulah dirinya, berpindah-pindah antara dunia kerja dan hobi, hidup dalam kedamaian. Tentu, pekerjaan dilakukan seefisien mungkin, agar waktu luangnya tidak terbuang. Maka ia pun patuh pada berbagai permintaan kerja, sebisa mungkin menghindari kegagalan.

Karena itu, ia menyamai gaji kedua orang tuanya saat berusia tiga puluh tahun, dan berada di jalur mulus menuju "kesuksesan." Setelah itu, karena dedikasinya pada pekerjaan dan loyalitas pada atasan, ia dipromosikan ke HR dan akhirnya diberi jabatan kepala seksi sebagai batu loncatan.

Oh, benar. Masih ada satu hal penting yang harus kulakukan. Tak peduli sebesar apa kesalahpahaman ini, aku sama sekali tidak punya alasan untuk membiarkan suster ini menyuapkan sayur rebus ke mulutku. Dan dia terus memanggilku "Tanya-chan," yang sangat menyebalkan. Aku layak disebut pria terhormat hanya karena belum berteriak marah.

Tepat saat aku gelisah dan hendak bangkit untuk memprotes, "Kenapa kamu terus memanggilku…"——

Sebuah rasa sakit tajam di otakku membuatku tiba-tiba mengingat kembali kenangan yang sangat tidak menyenangkan.

Masehi, 22 Februari 2013 – Jepang / Tokyo

"Kenapa, kenapa aku!"

Kenapa? Tentu saja karena nilai dirimu terlalu rendah. Selain itu, kau sudah terlalu sering absen dari pekerjaan. Terakhir, laporan yang diserahkan kepada atasan menunjukkan bahwa kau dibebani oleh berbagai pinjaman besar dengan jumlah yang tak diketahui. Dan kau secara terang-terangan menolak program terapi yang sudah ditawarkan perusahaan. Kesimpulannya, kau jelas merupakan beban bagi perusahaan. Akan berbahaya jika kau melakukan sesuatu yang mencoreng reputasi publik perusahaan. [Apakah perusahaan masih punya alasan untuk mempertahankanmu?] — Aku benar-benar ingin menjawab begitu. Tapi karena bertentangan dengan peraturan, aku hanya bisa menguburnya dalam hati dan membalas dengan hati-hati.

"Karena Anda telah dua kali gagal memenuhi standar PIP (Performance Improvement Plan), sesuai pedoman perusahaan, Anda telah kami arahkan mengikuti pelatihan demi meningkatkan kinerja. Namun, Anda menolak. Selain itu, Anda juga beberapa kali tidak masuk kerja tanpa keterangan."

Dibilang aku meremehkan orang lain? Lalu kenapa? Tidak ada aturan yang melarang itu. Bisnis adalah organisasi yang mengejar untung, bukan lembaga kesejahteraan untuk orang-orang tak berguna.

"Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan kontribusi Anda selama bertahun-tahun, daripada memecat Anda karena kegagalan kerja, saya pikir lebih baik jika Anda mengundurkan diri secara sukarela."

Meskipun menyampaikannya seperti ini memakan waktu, tetap saja ini bagian dari pekerjaan.

"Jenis pelatihan macam apa ini?! Aku tidak pernah bekerja sebagai tenaga penjual lapangan, dan sekarang kalian menyuruhku ke sana!?"

"Bagi perusahaan, ini adalah langkah preventif agar kinerja Anda tidak makin menurun. Ini pelatihan manajemen yang dibutuhkan untuk memahami kerja staf lapangan agar bisa menyusun pedoman manajerial yang lebih baik."

Melelahkan. Berurusan dengan orang-orang yang terus menangis dan berteriak, yang hanya ingin hidup menumpang dari organisasi ini. Mereka benar-benar merepotkan. Andai saja cukup dengan menangis sedikit lalu semua masalah bisa selesai. Sebagai bagian dari bisnis, aku akui kadang emosi juga dijadikan taktik. Tapi selalu saja menyebutku monster tak berhati, jalang penguasa, cyborg, dan sebagainya—dan mereka langsung mengeluh padaku begitu butuh bantuan... sungguh—

Aku tahu, aku ini manusia rendahan. Tidak bisa menandingi para jenius, tak bisa menjadi elite walau bekerja keras, dan punya kepribadian yang sangat menyimpang. Singkatnya, aku ini kumpulan inferioritas yang abnormal.

Orang-orang yang benar-benar baik membuatku jijik. Mereka munafik. Dalam masyarakat, ada standar nurani tertentu yang harus dijaga, dan justru karena itu mereka akan mencibir diri mereka sendiri. Itu hanyalah kemunafikan murni.

Meski begitu, meski aku seburuk ini, aku tetap bisa punya sedikit harga diri—jauh lebih baik daripada makhluk tak berguna yang menangis dan berteriak di depanku ini. Karena dalam hal nilai, aku masih mempertahankan hasil yang cukup baik. Jadi, bahkan saat harus memecat karyawan dalam restrukturisasi perusahaan, aku akan melakukannya sebersih dan sebaik mungkin, walau menyusahkan. Selanjutnya, aku hanya perlu melanjutkan jalan menuju posisi Kepala Departemen. Hidup seharusnya berjalan mulus setelah itu.

...Seharusnya begitu.

Namun setiap kali memikirkan sejauh ini, ia selalu teringat pengalaman yang sangat tidak menyenangkan itu.

Meskipun manusia disebut sebagai makhluk politik, bagi seseorang yang baru saja dipecat dari pekerjaannya, bahkan setelah mempertimbangkan etika dan norma sosial, mereka tampak lebih seperti binatang yang bertindak impulsif karena emosi. Mungkin mereka berbeda dari anak-anak elite yang berpendidikan dari organisasi. Pada akhirnya, tampaknya memang lebih banyak orang yang secara terbuka dikendalikan oleh emosinya sendiri. Kepala Departemen bahkan sudah memberi peringatan khusus padaku untuk berhati-hati saat berada di peron kereta. Tapi aku tidak paham maksud kata-katanya. Pon—tubuhku tiba-tiba didorong oleh seseorang. Melayang keluar dari peron dalam gerakan yang terasa sangat lambat. Dan saat melihat kereta datang mendekat, kesadaranku terputus.

Saat sadar kembali, aku langsung mengalami kejadian yang sangat absurd.

"Kalian semua benar-benar makhluk hidup?"

"Maaf, boleh saya tahu siapa Anda?"

Seorang pria tua, yang tampak seperti karakter klise dari novel generik, mendesah sambil mengamatiku. Ada tiga kemungkinan penjelasan.

Pertama, aku selamat secara ajaib. Meski sedang ditangani oleh tim medis, aku tidak bisa memahami situasinya secara penuh. Artinya, mungkin ada kerusakan serius pada otak atau mataku.

Kedua, ini adalah delusi atau halusinasi menjelang kematian. Mungkin seluruh hidupku sedang diputar kembali.

Ketiga, aku sedang mengalami mimpi kupu-kupu ala Zhuang Zhou, dan sekarang terbangun di dunia yang sesungguhnya. Mungkin aku hanya tertidur.

"...Kalian ini benar-benar orang gila. Memiliki pemikiran yang tak masuk akal seperti ini."

Dia bisa membaca pikiranku? Kalau itu benar, mempertimbangkan hak privasi dan segala jenis kerahasiaan, tindakannya sungguh membuatku kesal.

"Benar sekali. Membaca pikiran orang sepertimu yang tidak punya belas kasih itu sungguh menjijikkan."

"Ini sungguh mengejutkan... Aku tak menyangka iblis benar-benar ada."

"Tadinya kupikir kau akan mengatakan sesuatu yang lebih baik, tapi ternyata ini?"

Satu-satunya entitas yang melampaui logika dunia adalah dewa atau iblis. Dunia tidak akan sebegitu kacau kalau Tuhan benar-benar ada. Maka dari itu, aku simpulkan bahwa tidak ada Tuhan di dunia ini. Dengan begitu, eksistensi "X" yang ada di hadapanku ini adalah iblis. Konklusi: terbukti.

"...Kalian ini, apa kalian benar-benar ingin membunuh pencipta kalian sendiri karena kelelahan?"

Kalian? Dia menggunakan bentuk jamak. Artinya ada orang lain selain aku. Haruskah aku merasa tenang karena punya banyak "teman senasib"? Rasanya... agak rumit. Aku tidak membenci diriku sendiri, tapi juga tidak terlalu suka.

"Akhir-akhir ini, semakin banyak Jiwa-jiwa gila seperti kalian. Kenapa tidak bersandar pada evolusi umat manusia untuk mencari keselamatan? Apa kalian benar-benar begitu keras kepala menolak mencapai Nirwana?"

"Evolusi umat manusia itu karena kemajuan masyarakat, bukan?"

Teori Keadilan dari John Rawls sangat mengesankan. Tapi tidak mungkin diterapkan secara nyata. Manusia terbagi menjadi yang punya dan yang tidak. "Bagaimana jika" dalam teori itu memang menarik, tapi pada kenyataannya, yang punya tidak akan menyerahkan hak istimewa mereka demi orang lain. Daripada memikirkan masa depan, bukankah mengejar kepentingan nyata itu manusiawi? Tapi bagaimana caranya, itu juga masalah.

Kalau memang aku sudah mati, lalu ke mana jiwaku akan pergi? Mari kita bahas hal yang sedikit lebih konstruktif. Yang terjadi selanjutnya lebih penting.

"Kembali ke lingkaran kehidupan, hingga reinkarnasi."

Jawaban yang diberikan oleh "X", yang menyebut dirinya sendiri Tuhan, sangat naif. Oh, jadi ini hanya bentuk tanggung jawab "asal selesai" ya. Seseorang tidak seharusnya bermalas-malasan hanya karena merasa tugasnya sudah selesai. Tapi aku juga paham pentingnya menjelaskan tanggung jawab dan kewajiban kepatuhan. Meskipun tidak menyenangkan, sebagai anggota masyarakat, sebagai bagian dari organisasi, kita harus tahu pentingnya menjalankan formalitas dengan benar.

"Bagus. Tolong lakukan itu."

Kesimpulannya, aku akan lebih berhati-hati menjaga punggungku di kehidupan berikutnya. Aku telah belajar bahwa manusia bisa dibagi menjadi dua jenis: yang bertindak rasional dan yang tidak. Sepertinya aku harus mengulang studi ekonomi perilaku.

"...Sudah cukup."

Namun, kata-kata yang ia gumamkan membuatku sedikit bingung.

"Hah?"

"Tidak bisakah kalian berhenti? Tak satu pun dari kalian ini mencari keselamatan atau Nirwana, kalian bahkan tidak punya iman sedikit pun."

Kalau kau bicara begitu juga aku bingung. Jujur saja, aku tidak paham kenapa "X" (yang mengaku Tuhan) ini marah. Aku tahu orang tua biasanya lebih cepat naik darah, tapi saat seseorang dengan otoritas mulai marah, tidak ada yang akan merasa nyaman. Kalau ini anime atau manga, masih bisa ditertawakan. Tapi dalam masyarakat modern, banyak hal yang tak bisa dianggap bercanda begitu saja.

"Akhir-akhir ini, terlalu banyak manusia yang menyimpang dari akal sehat! Tak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah!"

Tentang itu... Meski aku sedang dimarahi soal akal sehat oleh "X", aku juga bingung. Sejujurnya, kalau memang ada yang namanya "akal sehat", bisa tolong diberi tahu dulu? Terlalu berat rasanya menuntut orang untuk mematuhi sesuatu yang tak pernah disepakati atau diketahui. Aku benar-benar tak bisa memahami hal-hal yang tak diucapkan. Sampai saat ini, aku tak pernah punya kemampuan ESP.

"Bukankah aku sudah menetapkan Sepuluh Perintah Tuhan!?"

1. Jangan ada Tuhan lain di hadapan-Ku.

2. Jangan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan.

3. Kuduskanlah hari Sabat.

4. Hormatilah ayah dan ibumu.

5. Jangan membunuh.

6. Jangan berzina.

7. Jangan mencuri.

8. Jangan bersaksi dusta.

9. Jangan mengingini istri sesamamu.

10. Jangan mengingini harta sesamamu.

Kata-kata itu seakan ditransfer langsung ke dalam otakku lewat semacam ESP. Eh, bagaimana ya menjelaskannya... rumit sekali. Lagipula, aku lahir dalam masyarakat multiagama dan sudah terbiasa dengan toleransi beragama yang longgar. Jadi kalau kau membicarakan perintah-perintah ini padaku, aku malah makin bingung. Lagipula aku menghormati orangtuaku, dan belum pernah membunuh siapa pun. Secara biologis aku pria, dan hasrat seksual adalah bagian dari kodratku. Itu bawaan lahir—aku tidak bisa mengelaknya. Kalau aku yang mendesain ini semua, aku tak akan banyak bicara. Tapi bukankah kau yang mendesainnya?

"Itulah penyesalan terbesarku seumur hidup!"

Aku penasaran, seperti apa sih "kehidupan" Tuhan itu. Dari sisi teknis, aku cukup tertarik. Tapi ya, level ketertarikanku pada hal-hal lain memang seperti itu. Aku tidak punya hasrat membunuh orang. Oh, memang, saat main FPS, terasa keren saat kena headshot. Tapi itu tidak membuktikan aku lebih kejam daripada orang rata-rata. Aku bahkan ikut menyebarkan poster tentang perlindungan hewan dan pernah mendorong dinas kesehatan agar menurunkan tingkat pembunuhan/pengambilan hewan liar.

"Walau kau tidak melakukannya, kau tetap menikmati aksi membunuh itu, kan!"

Aku tidak pernah mencuri, tidak pernah bersaksi palsu, juga tidak pernah menjadikan pasangan orang lain sebagai hobi. Yang paling penting, aku selalu jujur. Taat hukum, setia pada tugas. Aku tidak ingat pernah melakukan tindakan yang tidak manusiawi. Kalau perang pecah, mungkin aku justru akan mendapat ilham untuk mulai beternak udang. Sayangnya, pengalamanku sebagai tentara hanya sebatas game online.

"Cukup! Karena kau tak akan bertobat, maka aku akan memberikan hukuman yang setimpal!"

Ini sudah keterlaluan. Kenapa aku yang harus menerima hukuman? Tapi berdasarkan pengalamanku, aku tahu mengabaikan hal seperti ini biasanya berakibat buruk.

"Tidak, tunggu dulu!"

"Diam!"

Kumohon, jangan marah. Kau ini kan eksistensi maha kuasa, setidaknya dewasa secara mental dong. Atau kalaupun ini lelucon, bersikaplah sedikit lebih bijak. Aku pernah kenal seorang pengacara. Meski dia berbeda 180 derajat di ruang sidang dan di dunia game online, dia tetap bisa berfungsi normal di masyarakat. Aku tak berharap kau sebaik dia, tapi... yah, lebih baik sedikit...

"Mengelola populasi 7 miliar saja sudah membuatku kelelahan!"

Kalian semua harus berkembang biak dan memenuhi bumi—itu tertulis di Kitab Suci. Berdasarkan pengetahuan yang ada, sepertinya manusia terlalu patuh menjalankan ajaran ini. Sampai-sampai bayangan Malthus tampak cemas di alam baka. Bisa dibilang, manusia memang sudah berkembang biak berlebihan. Tapi sebagai manajer, bukankah seharusnya kau mengingat instruksi yang kau keluarkan sendiri? Jangan sampai dilihat rendah oleh bawahanmu, atau malah kau sendiri yang dipecat. Pokoknya, sebagai manajer, tolong bertanggung jawab atas ucapanmu.

"Kalau dunia ini penuh orang tanpa iman sepertimu, aku sudah rugi besar!"

Jujur saja, bukankah ini berarti memang ada kesalahan dalam model manajemen ini?

"Melanggar kontrak lalu masih berani berkata begitu!? Kalian bahkan tak menginginkan keselamatan, bukan!?"

Tanpa pemberitahuan sebelumnya, bagaimana aku bisa tahu? Itu adalah kata-kata dari lubuk hatiku. Kalau ini masalah penting, bukankah sudah umum untuk mengirimkan surat resmi dengan stempel yang sah? Tapi kalau itu sebuah kontrak, mestinya diberikan langsung secara pribadi. Dan seharusnya ada salinan kontrak yang bisa disimpan baik-baik.

"Bukankah kalian semua sudah bersujud pada ateisme?"

Tidak juga. Pada titik ini, evolusi sains sudah tidak bisa dibedakan lagi dari sihir. Any sufficiently advanced technology is indistinguishable from magic. Hidup ilmu pengetahuan alam! Dunia ini bisa dijelaskan dengan logika ilmiah, dan itu menghapus keraguan. Di dunia makmur ini, selama tidak ada kebutuhan mendesak, tidak akan ada rasa krisis dan tidak akan tumbuh iman atau keyakinan. Selama manusia tidak sampai ke jalan buntu, tidak ada kebutuhan untuk bersandar pada agama.

"…Dengan kata lain, maksudmu itu, kan?"

Meski kau bilang ini-itu, aku juga tidak akan langsung mengerti, bukan? Aku sendiri tidak bisa membantu kalau perlakuanku terhadap “X” jadi semakin santai. Tapi tak bisa berdiskusi secara normal seperti ini sungguh merepotkan. Apa yang harus kulakukan? Kalau ada layanan penerjemah yang tersedia, aku pasti langsung menandatangani kontraknya tanpa peduli berapa biayanya.

'Kau kurang iman, dikendalikan oleh nafsu, mengabaikanku, dan sepenuhnya menolak etika."

Aku benar-benar ingin membantah. Aku tidak seburuk itu! Kalau dilihat dari caraku menjalani etika dan standar sosial yang berlaku saat ini, aku jelas masih berada di atas rata-rata!

"Diam! Kalian semua seperti ini! Padahal sudah bersusah payah mengirim kalian kembali untuk bereinkarnasi, tapi selalu kambuh lagi!"

Tentang itu… itulah sebabnya aku bilang, ini masalah yang datang dari meningkatnya populasi manusia. Setidaknya ada hubungannya dengan konsep harapan hidup manusia. Sekarang bahkan sudah ada konsep umur rata-rata. Lalu juga teori populasi dari Malthus, kau sudah membacanya belum? Populasi manusia terus meningkat seperti tikus. Menyeramkan, bukan? Kami tidak melakukan hal yang luar biasa—kalau kau menganalisisnya secara sederhana, kau akan mengerti. Ini jelas menunjukkan ada cacat dalam model manajemenmu.

"Itu bisa diatasi cukup dengan meningkatkan iman, tahu!"

Ugh. Aku sudah bilang, ini masalah dalam model manajemen. Yang bisa kukatakan hanyalah—kau terlalu naif dalam menganalisis psikologi konsumen. Kau sudah membuat kesalahan struktural, bahkan sejak tahap perencanaan awal.

"Jadi, menurutmu, penyebab masalah ini adalah hidup di dunia ilmiah, menjadi manusia yang tidak tahu perang dan belum pernah berada di titik nadir, benar?"

…Eh? Aku tidak bisa menghilangkan firasat buruk soal ini.

Baiklah. Tolong tenang. “X” saat ini terasa sama berbahayanya seperti pegawai HRD yang suka mencuri staf teknis dari perusahaan lain yang telah mereka latih dari awal. Aku memahami situasinya dan sudah merumuskan langkah pencegahan yang tepat.

"Kalau begitu, aku hanya perlu melemparmu ke lingkungan seperti itu, dan kau pasti akan mulai percaya dan punya iman lagi, bukan?"

Err… soal itu, jangan-jangan kau terlalu cepat menyimpulkan? Tolong tenang dulu. Memang, aku sempat bilang bahwa kemajuan sains yang berlebihan bisa membuat iman jadi kabur. Tapi, wahai Tuhan, jangan impulsif. Benar, tenangkan dulu emosimu. Begini, selama kita masih bisa merasakan berkat Tuhan, seharusnya tidak masalah. Tentunya aku sangat mengerti soal itu. Aku sepenuhnya paham kenapa kau mengelola kami seperti ini. Ya, aku benar-benar mengerti maksudnya, jadi bisa tolong turunkan tanganmu? Dan soal aku tidak tahu apa itu perang… itu cuma salah paham.

"Sudah terlambat untuk mulai menjilat sekarang!"

Tidak, tolong, wahai Tuhanku. Tolong pikirkan kembali. Dunia ini sudah mengonfirmasi bahwa sihir dan mukjizat tidak ada—dan orang-orang yang mengaku pernah menyaksikannya juga sangat mencurigakan. Sama seperti keberadaan-Mu! Dan juga… dorongan seksual itu berlaku untuk kedua jenis kelamin, bukan!?

"Cukup sudah. Aku mengerti. Mari kita lakukan eksperimen."

"Eh?"

"Denganmu sebagai subjeknya!"

Inilah jenis kenangan yang... seandainya bisa, sungguh ingin kulupakan.

Catatan

Amish

https://en.wikipedia.org/wiki/Amish

Amish adalah komunitas Kristen tradisional yang dikenal karena gaya hidup sederhana, cara berpakaian yang bersahaja, serta penolakan terhadap banyak bentuk teknologi modern.

Auschwitz

https://en.wikipedia.org/wiki/Auschwitz_concentration_camp

Auschwitz adalah kamp konsentrasi Nazi pada masa Perang Dunia II, yang terletak di dekat kota Oświęcim (Auschwitz) di Polandia.

Teori Sinyal (Signalling Theory)

https://en.wikipedia.org/wiki/Signalling_theory

Sebuah teori yang menyatakan bahwa jika seseorang cukup cakap dalam mengirimkan sinyal yang meyakinkan, maka ia akan mampu mencapai hasil yang luar biasa.

“Boku” menjadi “Watashi”

Perubahan cara menyebut diri sendiri dari “boku” (umumnya digunakan oleh anak laki-laki atau pria muda) menjadi “watashi” (lebih formal dan dewasa), menandakan pertumbuhan kedewasaan dalam kepribadian seseorang.