Cherreads

Chapter 2 - Bab 2-bayabgan da taring

Udara malam mulai berubah sejak beberapa hari terakhir. Aroma hutan yang biasanya tenang dan lembap kini membawa bau besi dan tanah yang tercabik. Langit tampak muram, bulan bersembunyi di balik awan tipis yang bergerak perlahan. Angin berembus sejuk, tapi tidak menyegarkan—melainkan menekan dada seperti pertanda sesuatu yang tidak beres.

Langkah-langkah kecil hewan liar yang biasa terdengar di malam hari perlahan menghilang dari sekitar desa. Suara jangkrik pun terasa lebih pelan, seakan-akan dunia sedang menahan napas.

Reno berdiri di luar rumah, mengenakan pakaian latihan yang masih sedikit basah oleh keringat. Nafasnya belum sepenuhnya teratur setelah latihan malam bersama Arkas. Tubuhnya terasa pegal, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk masuk dan beristirahat.

Matanya menatap ke atas—bulan yang diselubungi awan tampak seperti mata setengah tertutup yang mengamati bumi dengan lelah.

"Masih belum bisa tidur?" tanya suara berat dari dekat api unggun kecil di depan rumah. Arkas, duduk di atas batu lebar, sedang mengasah pedangnya dengan gerakan lambat namun mantap. Cahaya api memantulkan kilau samar pada logam tajam itu.

Reno menggeleng, tidak menoleh. "Entah kenapa, rasanya gelisah. Seperti ada yang akan terjadi."

Arkas berhenti mengasah. Ia memandang ke arah kegelapan yang membentang di luar desa, matanya tajam seperti elang.

"Itu firasat," katanya pelan. "Dan kau harus mulai belajar mempercayainya."

Belum sempat Reno menjawab, suara aneh terdengar dari kejauhan—seperti ranting yang patah, tapi terdengar lebih berat. Lebih dalam. Suara itu menggema pelan, lalu menghilang, menyisakan keheningan yang justru membuatnya makin mencolok.

Reno menajamkan pendengarannya. "Tadi itu…?"

"Ambil pedangmu," potong Arkas sambil berdiri. "Kita periksa."

Tanpa banyak kata, Reno masuk dan mengambil pedang latihannya. Meski tidak seberat pedang sungguhan, senjata itu tetap bisa melukai jika digunakan dengan benar. Ia kembali ke luar, dan bersama Arkas, mereka menyusuri jalan desa yang kini kosong.

Cahaya obor yang ditancapkan di sepanjang jalan bergoyang tertiup angin. Bayangan mereka berdua memanjang di tanah, bergoyang seperti hantu yang menari. Semakin jauh mereka berjalan, semakin sunyi suasananya—seolah seluruh desa menahan napas.

Suara itu terdengar lagi. Kali ini diikuti oleh raungan rendah yang dalam, nyaris seperti geraman dari perut bumi.

Mereka tiba di pinggir desa, di batas antara rumah-rumah terakhir dan hutan gelap yang menjulang. Tanah di sana tampak tidak wajar—retakan kecil menyebar seperti jaring laba-laba. Beberapa pohon tumbang, bukan karena angin, melainkan seperti didorong oleh kekuatan besar.

Dan di tengah kegelapan, muncul sesuatu.

Besar. Lebih tinggi dari manusia dewasa. Tubuhnya adalah perpaduan serigala dan kadal—berbulu di beberapa bagian, bersisik di bagian lain. Matanya merah menyala seperti bara api, dan taringnya yang panjang meneteskan liur berbuih. Cakar pada tangannya menggaruk tanah, meninggalkan bekas yang dalam.

Reno menelan ludah. "Itu…"

"Beast," gumam Arkas dengan suara dalam. "Tapi yang ini… bukan beast biasa. Lihat kulitnya, dan tekanan mana yang keluar darinya. Ini… sesuatu yang berbeda. Lebih kuat dari biasanya."

Reno menggenggam pedangnya erat, tangan sedikit gemetar.

"Apa kita bisa mengalahkannya?" tanyanya pelan.

Arkas berpura-pura menimbang, lalu berkata tanpa keyakinan, "Entahlah… ini mungkin terlalu berbahaya."

Reno menegang, tapi Arkas hanya menatap makhluk itu dengan senyum samar. Dalam hatinya, ia tahu ia masih bisa menangani makhluk itu. Tapi malam ini bukan tentang menang atau kalah. Ini pelajaran—dan Reno harus belajar bertarung dalam tekanan.

Makhluk itu meraung dan menerjang. Tanah bergetar saat kaki-kakinya menghantam bumi. Reno berusaha menangkis, tapi kekuatan dari makhluk itu membuat tubuhnya terlempar beberapa langkah. Ia jatuh terguling, namun segera berdiri lagi, menahan rasa sakit.

"Fokus! Jangan cuma pedangmu yang bekerja! Lihat gerak kakinya!" teriak Arkas.

Makhluk itu menyerang lagi. Kali ini Arkas bergerak—cepat, seperti kilat. Dengan satu ayunan, ia menahan taring makhluk itu dan menendangnya mundur.

"Setiap tiga langkah, ia condong ke kiri. Itu celahnya," bisiknya pada Reno.

Reno mencoba menyesuaikan. Ia memperhatikan gerakan lawan, menanti celah itu. Saat makhluk itu kembali maju, ia bergerak ke samping dan mengayunkan pedangnya. Tebasan itu hanya menggores kulit kerasnya, tapi cukup untuk membuatnya mundur sebentar.

Pertarungan berlangsung sengit. Reno menghindar, menangkis, dan sesekali menyerang. Arkas tetap di dekatnya, mengatur tempo, sesekali pura-pura kehilangan keseimbangan agar Reno belajar menutup celah. Setiap gerakan Arkas adalah pelajaran terselubung.

Namun saat Reno terpeleset karena akar pohon, makhluk itu melihat celah. Ia melompat dengan raungan, taring terbuka lebar.

"RENO!" seru Arkas.

Dengan kecepatan luar biasa, Arkas menahan taring makhluk itu di udara, tubuhnya menahan seluruh beban agar Reno bisa melompat menjauh. Tanah retak di bawah kaki mereka.

Akhirnya, dengan kombinasi serangan yang disusun bersama—Reno menebas kaki belakang beast, membuatnya jatuh berlutut, dan Arkas mengayunkan pedang ke leher makhluk itu dengan kekuatan penuh—beast itu roboh. Suara terakhirnya adalah desahan berat, lalu senyap.

Mereka berdiri terengah. Reno jatuh duduk di tanah, napasnya putus-putus, keringat membasahi wajahnya.

Arkas masih tegak. Nafasnya teratur. Ia melihat Reno, mengangguk.

"Kerja bagus. Tapi jangan terlena. Ini baru permulaan."

Tiba-tiba—suara jeritan. Lembut, tinggi, dan datang dari arah timur desa.

Reno bangkit dengan cepat. "Itu suara perempuan."

Mereka berlari ke arah suara, melewati rumah-rumah sunyi, hingga mencapai ladang di luar pagar desa. Di kejauhan, di tengah kabut malam dan siluet pepohonan, mereka melihat seseorang.

Seorang gadis muda berdiri di atas batu, gaunnya berkibar tertiup angin malam. Wajahnya tak jelas, tapi auranya asing. Ia tampak tidak seperti warga desa. Bajunya halus, panjang, dengan detail keemasan di bagian bahu dan lengan. Rambut panjangnya terurai, berkilau samar dalam cahaya bulan.

Reno tertegun. Hatinya berdebar tanpa sebab.

"Siapa itu…?" bisiknya.

Arkas memperhatikan, matanya menyipit. Ia menepuk bahu Reno. "Jangan abaikan perasaanmu. Kau kenal dia?"

"Aku…" Reno ragu. "Aku tidak tahu. Tapi pakaiannya… dia terlihat seperti dari istana."

Gadis itu menoleh ke arah mereka. Matanya… aneh. Seperti melihat menembus waktu. Lalu, dengan lembut, ia berbalik dan berjalan masuk ke balik pepohonan, menghilang begitu saja.

"Dia menghilang!" Reno melangkah maju, hendak mengejar.

"Tidak sekarang," ujar Arkas sambil menahan lengannya. "Kita harus memastikan desa aman dulu. Jangan tergoda oleh bayangan."

Reno menatap ke arah hutan yang kini kosong, lalu mengangguk pelan.

Mereka kembali ke rumah. Tubuh beast masih tergeletak di tanah, perlahan mencair menjadi cairan hitam yang meresap ke bumi.

Malam terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

Setelah membersihkan diri seadanya, Reno berbaring. Tapi pikirannya terus berputar. Ia mencoba tidur, tapi tak kunjung bisa. Dan ketika akhirnya terlelap, mimpinya datang.

Ia berada di ruang gelap tak berbatas. Langit hitam pekat tanpa bintang, namun dari bawah, lantai kaca memantulkan cahaya redup, seolah seluruh tempat ini berada di antara dunia nyata dan bayangan.

Di depannya, berdiri sosok-sosok diam. Wajah-wajah yang dikenalnya—ayah, ibu, Liza, para penjaga istana. Namun semua dalam bayangan, seakan mereka hanya kenangan.

Kemudian, satu sosok melangkah keluar. Reno.

Versi dirinya sendiri, lebih tua, lebih dingin. Mengenakan jubah kerajaan dan mahkota emas. Wajahnya datar, dan matanya gelap.

"Apa kau masih pangeran?" tanya sosok itu.

Reno ingin menjawab, tapi suaranya hilang.

Sosok itu melangkah lebih dekat. "Atau kau sudah menjadi sesuatu yang lain?"

Tiba-tiba, lantai di bawahnya retak. Pecah menjadi kepingan, dan Reno jatuh ke dalam kekosongan tak berujung.

Ia terbangun dengan napas memburu. Jantungnya berdetak kencang. Di luar jendela, fajar mulai merekah perlahan. Cahaya pertama menyentuh langit timur.

Tapi di dalam dirinya, pertanyaan dari mimpi itu masih menggema.

Siapa aku sekarang?

More Chapters