Setelah sukses besar dalam acara tersebut, Fahrul merasa dunia seakan berada di ujung tangannya. Semua orang mulai mengenal namanya, dan berbagai tawaran pekerjaan serta kesempatan baru datang menghampiri. Setiap harinya, ia merasa semakin dekat dengan impian yang dulu ia miliki—untuk menjadi seorang profesional yang sukses di bidang manajemen acara. Namun, meskipun demikian, kehidupan Fahrul tidak berjalan mulus tanpa hambatan. Ia mulai merasa sebuah perubahan dalam dirinya, yang perlahan mengubah pandangannya terhadap dunia dan apa yang benar-benar ia inginkan.
Pagi itu, ketika tiba di kantor setelah beberapa hari libur, Fahrul merasa sedikit lelah. Rutinitas yang padat, pekerjaan yang tak pernah habis, serta tuntutan untuk selalu memberikan yang terbaik mulai membuatnya merasa tertekan. Meskipun ia berhasil dalam proyek sebelumnya, ia mulai mempertanyakan apakah jalan yang ia pilih benar-benar sesuai dengan hatinya.
Hari itu, saat makan siang bersama tim, Pak Ardi menyampaikan sesuatu yang membuat Fahrul berpikir lebih dalam. "Fahrul, kamu tahu, aku sangat menghargai kerja keras dan dedikasimu. Tapi aku ingin mengingatkanmu untuk tetap menjaga keseimbangan. Dunia kerja bisa menguras banyak energi, dan terkadang kita terlalu fokus pada pencapaian tanpa memperhatikan diri kita sendiri."
Kata-kata itu seperti menampar wajahnya. Fahrul terdiam sejenak. Sejak ia memulai magang di perusahaan ini, ia merasa ada dua hal yang selalu saling bertarung dalam dirinya: ambisi untuk mencapai puncak dan kebutuhan untuk tetap merasa bahagia dan sehat secara mental. Ia sadar bahwa ia sudah terlalu larut dalam rutinitas yang menuntutnya untuk selalu lebih dan lebih. Tetapi, apakah itu benar-benar yang ia inginkan?
Setelah makan siang, Fahrul berjalan sendirian ke taman dekat kantor. Ia duduk di bangku, menatap langit yang mendung, merenung. Tiba-tiba, ia merasa jenuh dengan segala pencapaian yang telah diraihnya. Ia menyadari bahwa meskipun kariernya semakin gemilang, ia sering merasa kosong. Ada bagian dari dirinya yang hilang. Ia teringat dengan masa-masa ketika masih kuliah, saat ia merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri, dengan teman-temannya, dan dengan tujuan hidupnya yang sederhana.
"Apa yang sebenarnya aku cari?" gumamnya pada diri sendiri. "Apa yang benar-benar membuatku bahagia?"
Fahrul tahu bahwa ini adalah titik balik dalam hidupnya. Selama ini, ia terfokus pada pencapaian luar, pada penghargaan, dan pengakuan dari orang lain. Tetapi, apakah itu cukup untuk membuatnya merasa utuh? Ia mulai meragukan segalanya.
Malam itu, setelah pulang dari kantor, Fahrul menghubungi Kak Amel. Mereka telah lama tidak berbicara dengan serius, dan Fahrul merasa inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan kegelisahannya.
"Kak, aku butuh bicara," kata Fahrul lewat telepon.
Kak Amel, yang sudah terbiasa dengan curhat Fahrul, segera menanggapi, "Tentu, ada apa, Rul?"
Fahrul menghela napas panjang sebelum mulai bercerita tentang perasaan yang mengganggunya belakangan ini. Ia menceritakan tentang tekanan yang ia rasakan di dunia profesional, tentang rasa jenuh yang datang begitu mendalam, dan tentang ketidakpastian yang mengisi pikirannya.
"Kak, aku merasa seperti... semuanya hanya berfokus pada pencapaian. Aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri. Apakah ini memang yang harus aku kejar?" tanyanya dengan nada penuh kebingungan.
Kak Amel mendengarkan dengan seksama, tidak terburu-buru memberi jawaban. Setelah beberapa detik, ia berkata, "Rul, hidup itu bukan hanya tentang pencapaian atau prestasi. Itu bagian dari perjalanan, tapi tidak semuanya. Kadang kita perlu berhenti sejenak, merenung, dan mencari tahu apa yang benar-benar membuat kita hidup, bukan hanya membuat kita sibuk. Jangan takut untuk mencari kebahagiaan di luar pekerjaan. Cobalah untuk kembali mencari keseimbangan, menikmati hidup, dan menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang kamu sayangi."
Kata-kata Kak Amel mengingatkan Fahrul pada sesuatu yang sering terlupakan dalam kesehariannya—bahwa hidup bukan hanya soal karier atau pencapaian. Terkadang, kebahagiaan datang dari hal-hal sederhana, seperti bersyukur atas apa yang ada, menjalani hari dengan penuh rasa syukur, dan berbagi kebahagiaan dengan orang lain.
Setelah percakapan itu, Fahrul merasa sedikit lebih ringan. Ia memutuskan untuk mengambil langkah mundur sejenak, memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk bernafas dan mengevaluasi kembali apa yang sebenarnya penting baginya. Ia ingin menemukan keseimbangan antara pekerjaan, kehidupan pribadi, dan impian-impian lainnya yang belum sempat ia capai.
Beberapa minggu setelahnya, Fahrul mulai membuat perubahan kecil dalam rutinitasnya. Ia mulai mengatur waktu dengan lebih baik, menyisihkan waktu untuk dirinya sendiri, berbicara lebih banyak dengan teman-temannya, dan mulai mencari hal-hal yang ia nikmati di luar pekerjaan. Ia melanjutkan kariernya, tetapi kali ini dengan perspektif yang lebih sehat. Ia tak lagi terobsesi dengan kesuksesan semata, tetapi lebih pada proses dan perjalanan hidup itu sendiri.
Fahrul juga merasa lebih terhubung dengan dirinya sendiri. Ia menemukan bahwa kebahagiaan tidak hanya datang dari pencapaian besar, tetapi juga dari ketenangan batin dan hubungan yang tulus dengan orang lain. Dalam perjalanan itu, Fahrul mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda—dengan lebih banyak rasa syukur dan ketenangan dalam hati.