Cherreads

Chapter 2 - Suara Mesin Jahit

Suara mesin jahit itu seperti musik masa kecilku. Ritmenya khas. Kadang pelan, kadang cepat, kadang tersendat seperti menahan napas. Suara itu terdengar dari pagi sampai malam, menembus dinding papan rumah kami di Mantang.

Aku sering bangun dengan suara itu.

"Krek...krek...zzzrrrtt..."

"Pak, belum tidur?" tanyaku suatu malam saat keluar kamar kecil.

"Sebentar lagi. Besok pesanan Pak Lurah harus jadi," jawabnya sambil tetap menunduk.

"Bapak capek nggak?"

"Capek itu teman baiknya sabar, Le."

Aku diam. Duduk di tikar, memeluk lutut, menatap cahaya redup lampu minyak.

"Mama udah tidur?" tanya Bapak.

"Udah. Katanya pusing."

Bapak hanya mengangguk. Tapi aku tahu, ada beban yang tidak bisa dijahit dengan benang, tidak bisa diselesaikan dengan mesin jahit.

---

Hubungan Bapak dan Mama tidak seperti dulu. Mereka jarang berbicara. Kadang-kadang hanya bertukar pandang yang dingin. Tapi setiap pagi, Mama tetap membuatkan teh untuk Bapak. Dan Bapak tetap membenarkan lipatan kerudung Mama sebelum ia pergi ke pasar.

Namun... malam-malam tanpa suara mulai jadi biasa.

"Le, kamu sayang Bapak?"

"Sayang banget!" jawabku cepat.

"Kalau kamu besar nanti, jangan lupa dari mana kamu berasal."

"Dari Favorit Tailor?"

Bapak tersenyum.

"Lebih jauh dari itu. Dari cinta yang dibungkus doa."

---

Aku mulai mengerti sesuatu yang rumit. Kadang orang dewasa saling menyayangi dalam diam, dan saling menyakiti dalam ketidakmampuan untuk jujur. Aku melihat bagaimana Bapak menahan tangis saat Mama mulai mengemas baju. Aku melihat tatapan kosong Bapak ke arah mesin jahit yang berhenti bekerja malam itu.

"Bapak, Mama mau ke rumah Uti ya?"

"Iya."

"Kapan pulangnya?"

"Entahlah, Le."

Aku menarik napas dalam.

"Kalau aku ikut Mama, Bapak sendirian dong."

"Nggak apa-apa. Kamu harus ikut Mama. Dia butuh teman."

Aku merasa marah waktu itu. Tapi aku tak bisa menolak.

Bapak memelukku erat.

"Jangan benci siapa pun ya, Le. Bahkan jika kamu kecewa."

"Tapi kenapa harus pisah?"

"Karena kadang cinta juga butuh jarak untuk bertahan."

---

Hari terakhirku di rumah kecil itu, Bapak memotong kain warna biru muda.

"Ini buat kamu, biar nanti ingat rumah."

"Baju?"

"Baju lebaran. Buatan Bapak sendiri. Favorit Tailor nggak pernah kasih pelanggan pergi tanpa senyum."

Aku tak bisa menahan tangis saat memeluknya.

Dan suara mesin jahit malam itu... menjadi lagu perpisahan yang tak pernah selesai dalam ingatanku.

More Chapters