Cherreads

WINDI: Diantara Dua Dunia

CeritaTanpaAkhir
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
3.8k
Views
Synopsis
Angga, mahasiswa tingkat akhir, sedang menyelesaikan skripsinya sambil menyimpan luka mendalam akibat kematian adiknya Tiara dalam kecelakaan beberapa tahun lalu. Dalam perjalanan malam dari kampus ke rumah, ia mengalami peristiwa mengerikan di KM 67 Tol Jagorawi, tempat ia nyaris mengalami kecelakaan dan melihat sosok perempuan misterius. Perempuan itu adalah Windi, arwah penasaran yang terjebak di lokasi tersebut tanpa ingatan penuh tentang hidupnya atau bagaimana ia mati. Hanya Angga yang bisa melihat dan mendengarnya seolah semesta mempertemukan mereka karena suatu alasan yang lebih dalam dari sekadar takdir. Saat Angga mulai menyelidiki kematian Windi, ia mengajak dua temannya, Dina (wartawan kampus) dan Bima (fotografer urban legend), untuk membantu. Namun semakin dalam mereka menyelidiki, mereka menemukan jaringan kegelapan yang lebih besar: korupsi proyek jalan tol, penghilangan jejak mayat, eksperimen spiritual terselubung, dan kekuatan arwah marah yang menjaga batas antara dunia. Kebersamaan Angga dan Windi perlahan berubah menjadi ikatan emosional yang rumit: antara cinta dan kehilangan, antara pengampunan dan pengorbanan. Namun di balik semua itu, tersembunyi kebenaran mengerikan: tubuh Windi bukan hanya hilang… tapi disembunyikan secara sengaja. Dan Angga harus memilih: menyelamatkan arwah yang ia cintai, atau menghadapi masa lalu kelam keluarganya sendiri.
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 1 – MALAM DI KILOMETER 67

Langit malam menggantung berat di atas Tol Jagorawi. Gelapnya pekat, seolah menelan apa pun yang bergerak di bawahnya. Hanya lampu-lampu jalan berwarna oranye redup yang berdiri kaku di sisi jalan, menyala setengah hati. Jam digital di dasbor mobil menunjukkan 23:11.

Angga duduk di balik kemudi. Sendirian. Matanya terpaku ke jalan, sementara musik dari radio mobil hanya mengalun samar sebagai latar. Satu lagu pelan dari band indie favoritnya diputar otomatis, tapi tidak menyentuh hatinya. Pikirannya mengembara tentang revisi skripsi, tentang dosen pembimbingnya yang menyebalkan, dan tentang satu hal yang tidak mau ia akui: rasa kosong di dalam dirinya.

Rasa itu tidak datang tiba-tiba. Tapi malam ini, ia merasa berbeda. Seperti ada dorongan yang membisikkan agar ia pulang malam-malam begini. Padahal biasanya, Angga memilih menginap di kosan dan baru pulang ke rumah di Bogor saat pagi. Tapi tadi, entah kenapa, saat berdiri di balkon kos sambil melihat langit mendung, dadanya terasa sesak. Seolah ada sesuatu yang memanggil dari jauh.

Malam ini, tubuhnya terasa ditarik ke jalan tol. Menuju tempat yang tidak bisa ia jelaskan dengan logika.

Mobil melaju dengan kecepatan stabil, sekitar 80 km/jam. Jalanan kosong. Tidak ada kendaraan di depan maupun belakang. Pemandangan kanan-kiri hanya siluet pepohonan gelap dan papan penunjuk jalan yang sesekali terlewati begitu saja.

Tapi semakin dekat ke Kilometer 67, udara di dalam mobil berubah.

Angga menyadarinya.

AC dalam posisi mati, tapi hawa dingin merayap dari jendela-jendela yang tertutup rapat. Dinginnya bukan seperti suhu... tapi seperti kehadiran. Dingin yang membuat punggung lehernya meremang, dan tangannya tiba-tiba terasa kaku di atas setir.

Ia menelan ludah. Menatap sekilas ke kaca spion tengah.

Kosong.

Tapi sesuatu dalam perasaannya berkata: “Tidak.”

Kilometer 67.

Sebuah papan tanda baru saja terlewati. Angga mengerjap. Hatinya mulai berdebar tanpa alasan. Lagu di radio mulai berisik, terdengar gemeretak statis seperti radio rusak. Ia menurunkan volume.

Dan saat itulah lampu depan mobilnya meredup sesaat.

Satu kedipan.

Setengah detik.

Tapi cukup untuk membuat jantung Angga melonjak.

Saat lampu kembali menyala... ada sosok di tengah jalan.

Angga reflek membanting setir ke kiri dan menginjak rem sekuat tenaga. Ban mencicit panjang di atas aspal. Tubuhnya terlempar ke depan, hanya tertahan oleh sabuk pengaman. Setir hampir menghantam dadanya. Mobil berputar setengah lingkaran dan berhenti mendadak di bahu jalan.

Jantung Angga berdetak terlalu cepat. Tangannya mencengkeram setir dengan gemetar. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar. Matanya membelalak, memaksa otak untuk memahami apa yang baru saja terjadi.

"Ada orang..." gumamnya, hampir tak terdengar.

Ia melirik kaca spion tengah.

Kosong.

Tapi... tadi ia melihatnya. Seorang perempuan. Berdiri di tengah jalan. Rambut panjang, jaket jeans, wajah pucat. Tatapannya kosong seperti tidak mengenali dunia.

Atau... apakah ia hanya berhalusinasi?

Angga menatap ke depan. Jalan kosong kembali. Tak ada siapa pun. Tak ada mobil, tak ada sosok, tak ada bekas kecelakaan. Hanya garis-garis putih membentang lurus, ditelan kegelapan.

"Mungkin cuma capek," katanya sambil menepuk pipinya sendiri. "Mungkin cuma bayangan. Refleksi lampu."

Namun perasaan di dadanya tak pergi. Dingin masih menggigit kulitnya. Tangannya masih gemetar di atas lutut.

Ia membuka kaca mobil sedikit untuk menghirup udara. Kabut tipis masuk bersama hawa dingin malam. Lalu... suara itu terdengar.

Ketukan pelan.

Dari dalam mobil. Dari jok belakang.

Satu ketukan. Dua. Tiga.

Angga menoleh perlahan ke spion tengah, tubuhnya kaku seperti batu.

Dan di sana... duduklah seorang gadis.

Tenang. Diam. Dengan rambut panjang menutupi sebagian wajah. Ia mengenakan jaket jeans biru pudar. Tangannya bertumpu di pangkuan. Ia menatap Angga dari balik rambulagi mata yang teduh, tapi menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kesedihan.

Angga langsung membuka pintu mobil dan melompat keluar. Kakinya goyah, tapi ia memaksa berdiri. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar. Ia mundur beberapa langkah, lalu menoleh ke dalam mobil.

Pintu belakang... masih tertutup.

Kosong. Tak ada siapa-siapa.

Namun hatinya tahu: ia tidak berkhayal. Sosok itu ada.

Suara perempuan terdengar di belakangnya.

"Kamu bisa lihat aku..."

Angga berbalik.

Dan di bawah sorot lampu jalanan yang temaram, sosok itu berdiri.

Gadis itu nyata, namun tidak menyentuh tanah. Sekujur tubuhnya tampak utuh, tak ada darah, tak ada luka. Tapi wajahnya... terlalu pucat. Terlalu sunyi. Seperti seseorang yang sudah lama tidak dianggap ada.

Mereka saling diam. Hanya suara angin malam yang bergerak di antara mereka, membawa daun-daun kering yang terhembus ke tepi aspal. Gadis itu menatap Angga seolah mengenalnya, seolah telah lama menunggunya di tempat itu.

Angga berusaha menelan ketakutannya. Suaranya tercekat, tapi akhirnya ia bersuara pelan.

"Siapa... lo?"

Perempuan itu tidak menjawab langsung. Ia melangkah perlahan ke arah bahu jalan, menatap garis marka jalan tol yang basah oleh embun malam. Kemudian ia memutar tubuhnya, menatap Angga dengan sorot mata yang jernih tapi menyimpan duka mendalam.

"Namaku... Windi."

Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Tapi entah bagaimana, Angga mendengarnya sangat jelas.

"Aku... tidak tahu kenapa kamu bisa melihatku. Tapi kamu yang pertama."

Angga mengernyit. "Pertama... maksud lo apa?"

"Aku sudah lama di sini. Setiap malam, aku berdiri di jalan ini. Tapi tidak ada satu pun yang pernah melihatku. Mereka semua lewat. Menembusku. Bahkan tak merasa."

Ia menunduk.

"Tapi kamu... kamu berhenti."

Wajah Angga mengeras. "Tunggu. Maksud lo... lo itu... lo udah"

"Ya," potong Windi lembut. "Aku sudah mati."

Jantung Angga mencelos. Tubuhnya terasa lebih dingin dari udara malam. Ia melangkah mundur sedikit. “Gue... gue gak ngerti ini. Gue gak percaya hantu. Gue gak ngerti kenapa ”

"Aku juga gak tahu kenapa kamu bisa melihatku," jawab Windi cepat. "Tapi aku tahu satu hal aku belum bisa pergi dari sini. Aku terjebak."

Ia menatap Angga lebih dalam. Kali ini bukan tatapan menyeramkan, tapi permohonan. Seolah dalam dirinya ada ribuan kata yang tak pernah sempat diucapkan.

"Aku gak tahu bagaimana aku mati. Aku gak tahu siapa yang melakukannya. Tapi tubuhku... aku yakin, masih di sini. Di sekitar tempat ini. Terlupakan. Dibuang."

Angga membeku.

"Dan aku... gak bisa pergi. Sampai semuanya terungkap."

Angin kembali berembus pelan. Rambut panjang Windi melayang tipis, mengikuti arah angin. Cahaya lampu jalan memantul di matanya yang berkaca-kaca, seolah ia masih hidup, masih bisa menangis.

"Aku lelah, Angga. Lelah menunggu. Lelah berharap. Tapi malam ini... kamu berhenti. Kamu melihatku. Dan itu... harapan pertama yang kupunya."

Angga tak bisa bicara. Tenggorokannya tercekat. Bukan karena takut, tapi karena sesuatu dalam dirinya terasa ikut pecah.

“Jadi... lo mau gue bantu nyari jasad lo?” tanyanya akhirnya, pelan.

Windi mengangguk.

“Aku tahu ini aneh. Tapi tolong... kalau kamu bisa... bantu aku pulang.”

Sunyi kembali mengisi ruang di antara mereka. Tapi tidak mencekam. Justru hangat, meski menggantung luka yang belum sembuh.

Angga menatap jalan kosong, lalu kembali menatap gadis itu.

"Baiklah. Gue gak tahu harus mulai dari mana... tapi gue akan coba."

Windi tersenyum. Tipis. Terima kasih yang tidak terucap. Dan seketika, perlahan... tubuhnya memudar, seperti asap disapu angin.

Sebelum benar-benar hilang, suaranya masih terdengar.

"Besok malam... aku akan menunggumu. Di sini."

Dan ia lenyap.

Angga berdiri sendiri di bawah cahaya lampu jalan yang mulai berkedip pelan. Mobilnya masih menyala. Tapi dunia seakan berubah.

Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi.

Tapi satu hal pasti...

Malam ini, ia tidak lagi sendirian.

Dan mulai malam ini... hidupnya tidak akan sama lagi.