Gelap.
Angga membuka mata perlahan, tapi dunia di sekitarnya tetap kelam. Tidak ada cahaya, tidak ada suara. Hanya kehampaan. Tapi anehnya, tubuhnya terasa ringan, seperti tidak menyentuh tanah.
Lalu kabut perlahan-lahan muncul, merayap dari bawah dan menyelimuti seluruh pandangan. Semuanya abu-abu. Tidak berwarna. Tidak berdiri di atas bumi yang ia kenal.
Ia menatap ke sekeliling.
Jalanan. Pohon-pohon. Papan petunjuk jalan bertuliskan “KM 67” berdiri mpelan semua tampak sama, namun berbeda.
Bagaikan pantulan rusak dari dunia nyata.
Ia mencoba berbicara, tapi suaranya tertelan. Tidak ada gema. Tidak ada pantulan. Seolah dunia ini tidak punya udara untuk membawa suara.
Kemudian gerakan samar di kejauhan.
Siluet seseorang berjalan perlahan. Lalu dua. Tiga. Lima. Puluhan.
Arwah.
Bukan seperti Windi tapi bentuk kabur, tanpa wajah, hanya tubuh yang berdiri kaku. Ada yang duduk, memeluk lutut sambil bergoyang. Ada yang berdiri menatap langit. Dan ada yang... berjalan berputar tanpa arah.
Angga mundur setengah langkah. Tapi langkahnya nyaris tidak terdengar.
Lalu salah satu arwah itu menoleh. Wajahnya tak jelas, namun lubang mata kosong menatap Angga langsung.
Ia berjalan mendekat.
Langkah pelan. Teratur.
Angga ingin lari, tapi tubuhnya seperti ditarik.
Sosok itu hanya beberapa langkah lagi. Ia merentangkan tangan, menyentuh bahu Angga, dan berbisik tanpa suara:
“Jangan percaya dia...”
Seketika semuanya berguncang.
Kabut berubah jadi pusaran.
Angga jatuh. Terhisap.
Dan ketika ia terbangun... Windi menatapnya dari pinggir kasur.
Angga tersentak bangun dengan napas terengah-engah. Dadanya naik-turun cepat, dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat dingin. Pandangannya buram sesaat, lalu berangsur fokus pada kamar kosnya yang gelap dan sunyi.
Lampu mati. Kipas menyala pelan. Jam menunjukkan pukul 03:17.
Windi duduk diam di kursi kayu dekat jendela, wajahnya remang disinari cahaya bulan.
“Lo mimpi?” tanyanya pelan.
Angga mengangguk sambil menyeka keringat dari leher. “Tempatnya... aneh. Kayak... bayangan dari dunia ini. Tapi hening. Kabut di mana-mana. Dan... ada banyak arwah.”
Windi menatapnya lekat-lekat. “Kamu masuk ke dunia bayangan.”
Angga menoleh cepat. “Lo tahu tempat itu?”
Windi mengangguk. “Itu bukan dunia mati. Bukan dunia hidup. Tapi lorong di antaranya. Banyak arwah gak bisa lanjut ke dunia berikutnya karena belum selesai. Mereka... tertahan di situ. Terlupakan.”
Angga teringat wajah kabur yang menyentuhnya. “Salah satu dari mereka bilang, ‘jangan percaya dia’. Itu maksudnya siapa?”
Windi menunduk. Suaranya melemah. “Aku gak tahu.”
Tapi Angga melihat perubahan ekspresi di wajah Windi seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
“Aku gak pernah bisa masuk ke sana secara penuh,” lanjut Windi. “Cuma... kadang aku melihatnya saat tertidur. Tapi kamu... kamu ditarik ke sana secara utuh.”
Angga mengerutkan alis. “Kenapa gue?”
Windi menatap mata Angga. “Karena kamu sekarang... sudah terikat. Kamu udah pegang cincinku, kamu udah lihat jasadku, dan kamu... udah janji bantu aku.”
“Jadi ini semacam... kontrak?”
Windi hanya menatapnya lama.
Kemudian ia berkata, “Kalau kamu masuk ke sana terlalu lama... kamu gak akan bisa keluar.”
Angga menelan ludah. “Terus... itu artinya... gue bisa mati?”
Windi menunduk lagi. “Enggak langsung. Tapi jiwamu bisa... terperangkap. Pelan-pelan tubuhmu bakal ngerasa kosong. Gak bisa fokus. Gak bisa ngerasain waktu. Kamu bakal lupa siapa kamu.”
Sunyi mengisi kamar.
Di luar, angin malam bertiup lembut, tapi hawa dingin yang tersisa dalam dada Angga... tidak ikut pergi.
Angga duduk di ujung ranjang, masih memandangi lantai. Suasana hatinya kacau antara takut, penasaran, dan heran kenapa ia tidak memilih berhenti sejak awal.
“Lo bilang tadi, dunia itu cuma lorong,” ucap Angga akhirnya. “Kalau begitu... siapa yang jagain lorong itu? Kenapa ada makhluk yang nyerang gue semalam?”
Windi menghela napas panjang. “Makhluk itu... bukan bagian dari kita. Bukan juga manusia. Tapi dia bukan setan.”
Angga mengangkat wajah, menatap Windi serius. “Lalu dia apa?”
“Dia disebut... penjaga batas.”
Wajah Windi memucat. Sorot matanya menyimpan ketakutan yang belum pernah Angga lihat sebelumnya.
“Kalau kamu mendekat terlalu jauh ke sisi lorong, penjaga batas itu akan muncul. Dia bukan jahat... tapi tugasnya hanya satu: memastikan gak ada yang lewat ke dunia lain kalau belum saatnya.”
“Termasuk lo?”
“Termasuk aku.”
Angga mencoba mencerna. “Jadi... lo selama ini terjebak di sini karena dijaga makhluk itu?”
“Sebagian iya. Tapi aku juga... gak sepenuhnya ingat kenapa aku masih di sini. Kayaknya... ada bagian dari aku yang masih ditahan oleh orang hidup.”
“Maksud lo?”
Windi berdiri dari kursi. “Aku gak tahu caranya jelasin. Tapi perasaanku bilang, ada satu orang... yang tahu aku mati, dan dia nyembunyiin itu. Seseorang yang gak pengen aku ditemukan. Yang gak pengen aku pulang.”
Angga perlahan berdiri. “Dan lo pikir kita bisa cari orang itu?”
Windi menatapnya, ragu sejenak. Tapi akhirnya mengangguk. “Iya. Tapi hati-hati. Karena kalau kita salah orang... bisa jadi dia bawa kita ke lorong itu lagi.”
Angga menatap keluar jendela. Kabut masih menggantung, tipis dan lembut.
Tapi sekarang ia tahu, di balik kabut... ada dunia lain.
Dan setiap langkah yang ia ambil mendekati kebenaran... akan membawa dia semakin jauh dari dunia yang bisa ia pahami.
Keesokan paginya, langit Jakarta kembali mendung, seperti tak ingin memberi kejelasan pada dunia.
Angga berdiri di depan cermin kamar kosnya, menatap wajahnya sendiri. Kantung mata membengkak. Kulitnya pucat. Tapi yang paling mencolok adalah bekas di lehernya memar ungu kehitaman berbentuk jari-jari kasar yang melingkar.
Ia menyentuhnya perlahan. Rasanya dingin. Bukan bekas biasa.
Dina mengetuk pintu. “Ga, lo bangun?”
“Masuk aja.”
Dina masuk sambil membawa dua gelas kopi sachet dan roti sobek. Matanya langsung tertuju ke leher Angga.
“Gila... itu makin parah,” katanya.
Angga menoleh. “Gue rasa... ini semacam tanda.”
Dina duduk. “Kayak... stempel arwah?”
“Lebih kayak... jejak. Bukti gue pernah ‘dijemput’ ke lorong itu.”
Dina diam sejenak, lalu mengeluarkan ponselnya. “Gue barusan nelpon sepupu gue yang anak okultisme. Dia bilang ada jenis makhluk bayangan bernama Aroh, tugasnya menjaga batas antara roh yang ‘pulang’ dan roh yang ‘terkunci’.”
Angga menatapnya. “Aroh... itu yang nyerang gue?”
“Mungkin. Katanya, kalau sampai ada manusia masuk ke wilayah lorong mereka, biasanya mereka akan... kasih peringatan. Tanda di tubuh.”
Angga mencengkeram cincin Windi yang masih tergantung di lehernya. “Dan gue baru dikasih peringatan pertama.”
Dina ragu. “Lo yakin mau lanjut, Ga? Kita udah temuin jasad Windi. Bukti-buktinya makin kuat. Lo bisa tinggal lapor ke polisi.”
“Tapi siapa yang percaya?” balas Angga datar. “Jasadnya belum diangkat. Gak ada identitas resmi. Dan lebih penting lagi... kita belum tahu siapa yang bikin dia kayak gitu.”
Sunyi.
Lalu, seolah semesta bicara lagi, ponsel Dina bergetar.
Pesan dari Bima.
“Gue nemu nama yang pernah sekelompok ospek sama Windi.
Namanya Alvan Reza. Prodi Ekonomi. Masih kuliah. Dan dia... dulu deket sama Windi.”
“Lo harus ketemu dia.”
Angga dan Dina saling pandang.
Dan tanpa sadar, angin dingin menyelinap masuk dari jendela yang sedikit terbuka. Tirai berayun perlahan.
Cincin di leher Angga bergetar pelan.