Mia membereskan semua barang-barangnya satu per satu. Ia tak lupa menaruh bingkai foto Nenek Shen dan Mama Ana di atas meja kecil di sudut kamar. Matanya terpaku pada kedua foto itu, dan seketika perasaan sepi merayap dalam hatinya. Meski kini ia telah kembali ke sisi sang ayah, rumah ini tetap terasa hampa.
Tok... Tok... Tokkk...
Suara ketukan pintu terdengar berkali-kali, memecah keheningan. Lamunan Mia pun buyar. Wajahnya berubah masam, jelas terganggu karena waktunya untuk beristirahat telah disela.
“Mia, ada orang yang mencarimu. Katanya, dia ingin bicara soal hal penting,” ucap Pak Jerry dari balik pintu.
“Siapa yang mencariku?” tanya Mia penasaran.
“Ayah tidak tahu! Tapi sebaiknya kau temui saja. Sepertinya dia orang penting,” jawab Pak Jerry, suaranya terdengar lebih serius.
Mia menarik napas, lalu berdiri dan melangkah menuju pintu kamar. “Baiklah, aku keluar. Dari pada penasaran... siapa tahu ini ada hubungannya dengan Mama,” gumamnya sambil memutar kenop pintu.
Ia membuka daun pintu dan melangkah keluar, perasaan tak tenang mulai merambat di benaknya. "Baiklah, aku akan keluar untuk menemuinya. Daripada aku penasaran... siapa tahu ini ada hubungannya dengan Mama," balas Mia sambil membuka pintu.
"Hmmm... siapa yang mencariku? Aku bahkan tak kenal siapa pun di kota ini, batinnya sambil berjalan menyusuri lorong, diikuti oleh Jerry Xiao dari belakang.
"Mia, kamu harus bersikap sopan. Orang yang ingin bertemu denganmu bukan orang sembarangan. Siapa tahu, dia bisa memberimu pekerjaan bagus. Kalau begitu, jangan lupa minta gaji yang besar, ya," ujar Pak Jerry, setengah bercanda namun serius.
Mia menghentakkan langkahnya, menoleh sekilas dengan tatapan sinis. "Jangan terlalu berharap padaku. Aku tak akan merendahkan diri hanya demi gaji besar. Aku bukan pengemis seperti kalian," dengusnya dingin.
Langkah kakinya kembali dipercepat, meninggalkan ayahnya yang terdiam sejenak di belakang. Ucapan Mia begitu tajam, seolah menancap di dada. Tapi ia tak berkata apa-apa—hanya menarik napas panjang, lalu melanjutkan langkah dengan raut wajah yang sulit dibaca.
"Jangan ikuti aku!" seru Mia sambil menoleh tajam ke arah Jerry. "Apa Ayah ingin jadi penguping? Seseorang yang selalu mencuri dengar urusan orang lain? Saya harap... Ayahku bukan pria semurah itu!"
Nada suaranya penuh amarah dan kekecewaan. Jerry hanya mendengus pelan, wajahnya mengeras.
"Cih," gumamnya pendek, lalu membalikkan badan dan pergi, meninggalkan Mia yang melangkah menuju ruang tamu dengan dada penuh gejolak.
Di sana, terlihat seorang pria tua sedang berdiri memunggungi ruangan. Usianya tak jauh berbeda dengan Pak Jerry. Tubuhnya tegap, posturnya tinggi, dan wajahnya dihiasi brewok tipis yang mempertegas kesan wibawa. Matanya—berwarna cokelat pekat—tampak menelusuri sesuatu di dinding.
Pria itu sedang memandangi bingkai foto keluarga Jerry Xiao yang tergantung di ruang tengah. Sebuah foto keluarga baru—tanpa Mia di dalamnya.
Sesaat pria itu terdiam. Pandangannya tajam, seperti menyadari sesuatu dari foto itu. Ada jeda singkat, lalu ia perlahan berbalik... dan tatapannya bertemu dengan mata Mia yang kini berdiri kaku di ambang pintu.
“Permisi... Selamat malam, Tuan,” sapa Mia dengan suara datar, namun tetap menjaga sopan santun.
“Selamat malam,” jawab pria tua itu sambil menoleh pelan ke arah Mia.
“Apakah Anda... mencari saya?” Mia mencoba memastikan, meski perasaannya masih campur aduk antara penasaran dan curiga.
Pria itu menatapnya sejenak, lalu balik bertanya, “Hmm... apakah Anda yang bernama Mia Shen?”
“Iya, saya sendiri,” jawab Mia singkat sambil mengamati pria di depannya, mencoba mengenali siapa dia sebenarnya.
Mata pria itu menyorotkan ketenangan, namun wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. Mia memperhatikan itu.
“Oh, ya... silakan duduk, Tuan. Jangan berdiri terlalu lama. Tidak baik untuk kesehatan Anda,” ucap Mia, agak canggung namun tetap peduli.
Pria tua itu tersenyum ramah. “Terima kasih, Nona Mia. Kalau begitu, saya tak akan sungkan,” ujarnya sambil duduk perlahan di sofa, masih menatap Mia dengan sorot mata yang dalam dan penuh pertimbangan.
Mia tetap berdiri, diam beberapa saat sebelum akhirnya ikut duduk di kursi seberangnya. Suasana seketika menjadi sunyi, seperti ada sesuatu besar yang akan segera terungkap.
“Begini, Nona Mia,” ucap pria tua itu pelan namun tegas, tatapannya tertuju penuh pada wajah Mia. “Saya ke sini ingin meminta bantuan Anda. Saya tahu Anda adalah wanita yang hebat. Prestasi Anda—baik akademik maupun sosial—telah menarik perhatian saya. Sangat memukau.”
Mia tampak kaget. Ia sedikit mengernyit, tidak menyangka pria asing itu memujinya begitu terbuka.
“Jangan terlalu memuji saya, Tuan... Saya hanya wanita biasa, bukan sehebat yang Anda bayangkan,” sanggah Mia dengan nada rendah, meski ada rasa penasaran yang mulai tumbuh dalam dirinya. Siapa sebenarnya pria ini...?
Saat percakapan berlangsung, Bu Yanti tiba-tiba masuk ke ruang tamu, membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan sepiring kue kering.
“Silakan diminum, Pak,” katanya sambil meletakkan nampan di meja, lalu tersenyum sopan—meski matanya tampak penuh rasa ingin tahu. Sebenarnya, ia sengaja masuk hanya untuk bisa lebih dekat dan menguping percakapan antara Mia dan tamunya.
Pria tua itu mengangguk ramah. “Terima kasih, Bu,” ucapnya singkat.
“Oh, iya,” lanjut pria itu sambil menoleh kembali ke arah Mia. “Saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Biromo. Saya datang mewakili BRM Group, sebuah perusahaan induk yang saya dirikan. Maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk menawarkan Anda kesempatan bekerja sama dengan perusahaan RIC Group—yang kini dikelola oleh anak saya, Rico.”
Mia menatapnya dalam-dalam, kini benar-benar bingung dan sedikit curiga. Tawaran itu datang terlalu tiba-tiba... dan terlalu mulus untuk dianggap biasa.
Bu Yanti menangkap ekspresi sinis dari Pak Biromo—tatapan dingin yang terasa menusuk. Ia merasa tak dihargai. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah kesal.
“Cih... apa hebatnya anak itu, sampai-sampai ada orang penting datang mencarinya?” gumam Bu Yanti sambil memasang wajah cemberut, bibirnya mengerucut seperti sedang mencicipi cuka.
Melihat ekspresi kekesalan itu, Pak Jerry yang tengah duduk di ruang belakang bertanya, “Ada apa sih, Bu?”
“Sombong sekali pria tua itu! Tatapannya seperti ingin membunuhku,” keluh Bu Yanti dengan nada tajam, sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Memangnya siapa dia, Bu?” tanya Agnes—putri bungsu dari Jerry dan Bu Yanti—yang sejak tadi penasaran dengan siapa tamu misterius itu.
“Namanya Biromo. Katanya dia dari perusahaan besar… BRM Group,” jawab Bu Yanti sambil berusaha mengingat kembali wajah pria itu.
Seketika mata Agnes membelalak. “Apa?! Biromo dari BRM Group?”
Nada suaranya meninggi, dan ia segera menghampiri Bu Yanti sambil menggenggam tangannya dengan panik.
“OMG, Bu! Biromo itu... dia salah satu orang terkaya di kota ini! Dia duduk di posisi keempat dalam daftar pebisnis paling berpengaruh!” ucap Agnes bersemangat namun penuh rasa tak percaya.
Ruangan itu seketika hening, hanya tersisa ketegangan yang menggantung di udara. Kini, bukan hanya Bu Yanti yang merasa terusik—bahkan Pak Jerry mulai bertanya-tanya: Kenapa orang sekelas Biromo datang... hanya untuk menemui Mia?
Bu Yanti dan Pak Jerry Xiao terperangah saat mendengar penuturan Agnes. Bahwa pria tua yang kini duduk di ruang tamu mereka adalah Biromo—salah satu konglomerat paling berpengaruh di kota ini. Tak pernah mereka bayangkan, orang dengan kekuasaan dan kekayaan sebesar itu akan menginjakkan kaki di rumah sederhana mereka.
Sementara itu, di ruang tamu, pembicaraan antara Mia dan Pak Biromo memasuki inti dari pertemuan penting itu.
“Bagaimana, Nona Mia?” tanya Pak Biromo dengan sorot mata penuh harap. “Apakah Anda bersedia bekerja sama dengan saya? Saya akan membayar berapapun yang Anda minta, asalkan Anda bersedia membantu memulihkan anak perusahaan yang saat ini dipimpin oleh putra saya, Rico.”
Mia menatap pria itu tajam, lalu mengangkat cangkir tehnya dan menyesapnya perlahan sebelum menjawab.
“Baiklah, saya bersedia bekerja sama,” ujarnya tenang, lalu meletakkan cangkir kembali ke atas meja. “Tapi saya punya syarat.”
Pak Biromo menaikkan alis, sedikit terkejut namun tetap tenang. “Boleh saya tahu, syarat apa yang Anda ajukan? Selama itu dalam batas kemampuan saya, akan saya penuhi.”
Mia mendekat sedikit, lalu berbisik dengan nada serius, “Maaf, saya ingin syarat ini disampaikan secara pribadi... bukan di sini.”
Pak Biromo mengangguk mengerti, seolah telah memperkirakan hal itu sebelumnya.
“Tentu. Kalau begitu, ayo, Nona Mia. Mari kita pergi ke tempat yang lebih aman dan tenang untuk menyelesaikan urusan kita.”
Dengan sopan, Pak Biromo berdiri dan memberi isyarat pada Mia untuk berjalan lebih dulu. Mia mengangguk kecil, lalu bangkit dari duduknya dan melangkah keluar.
“Terima kasih... Anda memahami situasi saya,” ucap Mia pelan sebelum berjalan menuju mobil milik Pak Biromo yang telah menunggu di luar.
Pak Jerry hanya berdiri mematung. Di hatinya, mulai tumbuh pertanyaan yang belum sempat diucapkan:
"Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Dan... kenapa Mia begitu mudah menerima tawaran pria itu?"
Pak Biromo dan Mia kini pergi ke suatu tempat untuk membicarakan kerjasama diantara mereka. Pak Biromo mengetahui situasi Mia, yang enggan berbicara kesepakatan di rumah keluarga xiao.
"Saya akan menggunakan kerjasama ini, untuk mendapatkan kembali rumah Mama dan menghancurkan mereka," batin Mia sambil memasuki mobil mewah milik pak Biromo.
" Silahkan, Nona," ucap supir pribadi pak Biromo yang membukakan pintu mobil dengan membungkukkan sedikit badannya.
"Terimakasih," sahut Mia dengan memberikan senyuman ke arah sang supir.
Supir pribadi pak Biromo langsung membukakan pintu mobil untuk pak Biromo. Setelah itu, dia langsung bergegas melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
" Kita ke restoran biasa, " ucap singkat pak Biromo.
" Baik, Tuan," sahut pak supir yang masih fokus menyetir.
Kini mereka menuju restoran bintang lima, Mia hanya diam di dalam mobil dan tidak memulai percakapan satupun. Dia tidak mau dianggap tidak sopan, apalagi salah bicara.
Sesampainya di restoran, seorang pelayan langsung menyambut mereka dengan ramah, membungkuk sedikit sebagai bentuk penghormatan.
"Selamat datang kembali, Tuan Biromo. Kami telah menyiapkan ruangan pribadi Anda," ujar pelayan itu sambil mempersilakan mereka masuk.
Mia melangkah pelan di belakang Pak Biromo. Suasana restoran begitu tenang dan elegan. Dentingan piano halus terdengar samar dari ruangan utama, namun mereka dibawa menuju sebuah ruangan tertutup yang lebih eksklusif.
Setelah pintu ditutup, suasana menjadi lebih hening. Pelayan menyajikan teh hangat sebelum keluar meninggalkan mereka berdua.
Pak Biromo menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Mia dengan ekspresi sulit ditebak.
"Jadi, Mia... apa sebenarnya yang ingin kau dapatkan dari kerja sama ini?" tanyanya, suaranya tenang, namun mengandung nada menyelidik.
Mia menatap mata pria itu, tak ingin terlihat ragu.
“Saya ingin memulihkan apa yang telah diambil dari keluarga saya. Rumah Mama… dan harga diri kami,” jawab Mia perlahan tapi mantap. “Saya yakin, Anda pun punya alasan pribadi kenapa menawarkan kerja sama ini.”
Pak Biromo tersenyum kecil, seolah menikmati ketegangan yang Mia ciptakan.
“Kau pintar,” katanya singkat, sambil menyesap tehnya. “Dan itu sebabnya aku memilihmu.”
Krucuk.... Kraukk....
Suara perut Mia mulai berbunyi, dia merasa perutnya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Semenjak pemakaman Nenek Shen, Mia tidak makan hingga sampai larut malam sehingga perutnya terus mengeluarkan irama melodi yang membuat kedua pria dihadapannya mulai melirik satu sama lain.
Pak Biromo menoleh perlahan ke arah Mia, alisnya sedikit terangkat. Sang pelayan yang berdiri di pojok ruangan pun ikut menahan senyum kecil, seolah mengerti situasi yang sedang terjadi.
Mia langsung merapatkan tangan di pangkuannya dan menunduk, wajahnya mulai memerah karena malu. Ia ingin terlihat tenang dan profesional, namun tubuhnya mengkhianatinya.
“Sepertinya... kita perlu memesan makanan lebih dulu,” ujar Pak Biromo, masih dengan senyuman samar, namun kali ini terasa lebih hangat.
“Maaf… saya tidak bermaksud mengganggu suasana,” ucap Mia cepat, mencoba menahan rasa malu.
“Tak perlu minta maaf. Hanya orang bodoh yang bisa membahas masa depan dengan perut kosong,” sahut Pak Biromo sambil memberi isyarat pada pelayan. “Bawa menu spesial malam ini. Pastikan yang terbaik untuk tamu saya.”
“Segera, Tuan,” jawab pelayan, lalu pergi dengan langkah cepat.
Mia mengangkat wajahnya perlahan, mencoba menenangkan detak jantung yang masih malu. Namun tatapan Pak Biromo sudah berubah—lebih santai, lebih manusiawi. Seolah melihat sisi lain dari Mia justru membuatnya semakin yakin dengan keputusan menggandengnya.
“Jadi, Mia... kita makan dulu, baru bicara soal cara menghancurkan Keluarga Xiao, bagaimana?”
Mia mengangguk pelan, lalu tersenyum. Kali ini, senyuman itu tulus. Ia tahu, malam ini adalah awal dari permainan berbahaya—namun ia siap, dan ia tidak sendirian.
Beberapa menit kemudian, makanan sudah tersajikan. Mata mia terlihat berbinar dengan banyak makanan mewah yang disajikan oleh pelayan.
" Bolehkah, aku makan terlebih dahulu. Sepertinya perutku sudah tidak bisa dikendalikan lagi," pinta Mia yang sudah menahan lapar.
" Silahkan, ambilah sesukamu. Agar kamu mempunyai cukup energi dalam menangani kerjasama diantara kita," sahut pak Biromo yang memutarkan meja makan agar makanan enak berada di hadapan Mia.
" Terimakasih, Tuan." Ucap Mia sambil mengambil hidangan dihadapannya tanpa rasa sungkan.
" Sepertinya, gadis ini diperlakukan oleh keluarganya tidak begitu baik. Hingga dia menahan rasa lapar sampai malam tiba," gumam pak Biromo yang melihat Mia sedang menikmati hidangan dengan penuh semangat.
Pak Biromo hanya memperhatikan dalam diam, matanya menelisik tiap gerakan Mia. Gadis itu tampak begitu antusias mencicipi satu per satu hidangan, seolah tengah mengobati luka yang dalam lewat rasa dan aroma makanan yang tersaji.
Mia menutup matanya sebentar, menikmati suapan daging wagyu yang lembut di lidahnya. “Hmmm… ini luar biasa,” ucapnya lirih, hampir seperti lupa sedang berada dalam pertemuan bisnis.
Pak Biromo tersenyum kecil, namun di balik senyuman itu, pikirannya terus bekerja. Anak ini... bukan hanya lapar karena perut, tapi juga karena rasa aman. Karena kasih sayang yang sudah lama hilang.
Setelah beberapa suapan, Mia mengusap sudut bibirnya dengan serbet, lalu menatap Pak Biromo dengan sorot mata yang lebih tenang.
Setelah makan malam selesai, Mia merasa cukup puas dengan rasa makanan yang saat ini dia makan. Mia tak ada rasa lapar lagi. Kini perutnya sudah ditampung penuh oleh berbagai makanan yang lezat.
“Maaf kalau tadi saya terlalu bersemangat. Tapi, saya rasa sekarang saya sudah siap untuk mendengarkan penawaran Anda,” ucapnya dengan nada serius.
Pak Biromo meletakkan cangkir tehnya ke atas meja, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan.
“Kerja sama ini... bukan hanya soal uang atau balas dendam, Mia. Aku tahu kau ingin mengambil kembali rumah keluargamu, dan menjatuhkan Keluarga Xiao. Tapi untuk itu, kau harus bersedia masuk ke dunia yang jauh lebih kejam dari yang pernah kau bayangkan.”
Mia mengangguk, tanpa gentar. “Saya tidak takut. Saya sudah kehilangan terlalu banyak untuk mundur sekarang.”
Pak Biromo menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kalau begitu... mari kita bicara soal strategi. Dan kau harus tahu: ketika kita mulai, tidak ada jalan kembali.”
Mia menegakkan duduknya. Aura lembut dan polosnya perlahan mengeras, berganti dengan ketegasan. Di balik tatapan matanya yang tajam, ada dendam yang mendidih diam-diam.
“Jelaskan padaku, Tuan. Apa yang harus saya lakukan terlebih dahulu?” tanyanya tenang.
Pak Biromo menyentuh tombol kecil di samping kursinya. Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian hitam rapi masuk ke ruangan dengan sebuah map kulit di tangannya. Ia meletakkan map itu di depan Pak Biromo, membungkuk sedikit, lalu keluar tanpa suara.
Pak Biromo membuka map tersebut dan mengeluarkan beberapa lembar dokumen dan foto. Ia menyodorkannya ke Mia.
“Ini… adalah daftar perusahaan cangkang milik Keluarga Xiao. Di atas kertas, semuanya tampak legal. Tapi kita tahu, sebagian besar digunakan untuk mencuci uang, menyuap pejabat, dan menekan para pesaing bisnis.”
Mia mengambil salah satu foto. Gambar itu memperlihatkan Xiao Liang — anak sulung keluarga Xiao — tengah berjabat tangan dengan seorang pejabat pemerintah.
“Aku ingin kau menyusup ke salah satu perusahaan ini,” lanjut Pak Biromo, suaranya dingin tapi penuh kendali. “Mulai dari bawah. Bangun kepercayaan mereka. Cari tahu di mana kelemahan utama mereka, siapa orang dalam yang bisa kita dekati... dan yang paling penting, kumpulkan bukti. Kita akan menjatuhkan mereka dari dalam.”
Mia menatap foto-foto itu dengan seksama. Setiap gambar, setiap nama, menyimpan jejak luka yang pernah ditorehkan Keluarga Xiao kepada keluarganya. Ia mengepalkan tangan, dan mengangguk perlahan.
“Berikan aku waktu. Aku akan menyusup, dan aku akan mengakhiri permainan ini… dengan cara mereka sendiri.”
Pak Biromo tersenyum tipis. Tatapan matanya menyiratkan rasa hormat—dan juga kewaspadaan.
“Bagus. Tapi ingat, Mia. Sekali kamu masuk ke dalam, kamu bukan lagi gadis biasa. Kamu akan menjadi bidak... dan mungkin, ratu di papan catur ini. Tapi setiap ratu pun bisa jatuh jika salah langkah.”
Mia menatapnya lurus. “Saya tidak akan jatuh, Tuan. Tidak sebelum mereka hancur.”
" Ok, saya akan menyetujui kerja sama kita. Saya akan memberikan persyaratan tersebut, setelah itu, kamu ke perusahaan anak saya kembali ketitik normal," balas pak Biromo dengan begitu santai menerima syarat dari Mia.
" Irfan, tolong bawa surat kontrak kesini," pinta pak Biromo kepada asisten kepercayaannya.
" Ini, Tuan," sahut Irfan yang menyerahkan surat kontrak diatas meja makan untuk kerjasama antara pak Biromo dan Mia.
"Tanda tangan disini," ujar Pak Biromo sambil menyerahkan surat kontrak kepada Mia.
Mia yang diberikan surat kontrak untuk kerjasama antara pak Biromo, dia langsung membuka surat kontrak tersebut.
Mia membaca surat kontrak selembar demi selembar. Saat surat kontrak sudah dibaca dan dipahami oleh Mia. Mia langsung menandatangani kontrak tersebut.
" Saya sudah menandatanganinya," ucap Mia sambil menyerahkan kembali surat kontrak kepada pak Biromo.
" Terimakasih, senang bekerjasama dengan Anda," sahut pak Biromo sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
" Sama-sama, senang bekerjasama dengan Anda," balas Mia yang menyambut uluran tangan Pak Biromo.
Kedua tangan bertemu dalam jabat tangan singkat, namun penuh makna. Di balik senyuman sopan mereka, tersembunyi dua ambisi berbeda—saling memanfaatkan, namun terikat oleh satu tujuan: menjatuhkan Keluarga Xiao.
Irfan dengan sigap mengambil kembali kontrak tersebut dan menyimpannya ke dalam map hitam. Ia mengangguk pelan kepada Pak Biromo dan Mia, lalu mundur dengan tenang, meninggalkan keduanya dalam keheningan yang mendalam.
“Dengan ini, kamu resmi menjadi bagian dari rencana besar ini,” ucap Pak Biromo, kini dengan nada lebih berat dan serius. “Mulai besok pagi, kamu akan mulai bekerja di salah satu anak perusahaan mereka. Nama dan identitasmu akan disesuaikan agar tidak menarik perhatian.”
Mia mengangguk tegas. “Saya mengerti. Dan saya siap.”
Pak Biromo melirik arlojinya, lalu berdiri. “Aku harus kembali ke kantor. Ada rapat dewan direksi malam ini. Tapi kamu... nikmatilah makan malammu. Anggap ini sebagai malam tenang terakhir sebelum badai dimulai.”
Mia tersenyum samar. “Tenang saja, Tuan. Saya tidak takut badai. Saya lahir di tengah badai.”
Pak Biromo tertawa kecil, lalu melangkah pergi, diikuti oleh Irfan. Pintu ruangan pribadi itu kembali tertutup, meninggalkan Mia sendiri di dalam, bersama sisa makanan mewah dan secarik kontrak yang kini telah mengikat takdirnya.
Ia duduk kembali, menatap piringnya. Tapi kali ini, bukan karena lapar—melainkan karena pikirannya mulai memutar skenario kemungkinan: siapa musuh, siapa kawan, dan berapa banyak luka yang harus ia buka kembali demi kemenangan akhir.
Di luar jendela restoran, langit malam mulai digulung awan gelap.
Permainan telah dimulai.
" Sepertinya saya harus pulang, karena sudah larut malam. Waktunya saya beristirahat, " ujar Mia sambil berdiri dari kursi.
Mia merapikan tas kecilnya dan berdiri dari kursi makan, lalu menatap sejenak ke arah jendela restoran yang memperlihatkan kota berlampu redup di bawah langit mendung.
Ia menarik napas pelan. Besok semuanya akan berubah...
Begitu keluar dari ruang makan pribadi, pelayan langsung membungkuk ringan dan mengantarnya ke lobi depan. Supir pribadi Pak Biromo telah menunggu di dekat mobil mewah yang tadi mereka gunakan.
“Silakan, Nona Mia. Saya akan mengantar Anda pulang,” ucap sang supir sambil membukakan pintu mobil dengan sopan.
“Terima kasih,” balas Mia dengan anggukan singkat, lalu masuk ke dalam mobil.
Selama perjalanan pulang, Mia hanya menatap keluar jendela. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk—antara tegang, waspada, dan sesekali muncul rasa takut yang segera ditepisnya.
Di luar, lampu jalan menyapu wajahnya dalam sorotan berirama. Seakan menyinari tekad yang perlahan mengeras di dalam dirinya.
Sedangkan pak Biromo melihat mobil yang membawa Mia sudah tak terlihat lagi. Namun saat Pak Biromo ingin masuk ke dalam mobil, dia melihat sesuatu di bawah lantai.
" Apa ini?," gumam pak Biromo sambil membungkukkan badannya untuk mengambil sesuatu yang ada di bawah lantai.
" Sepertinya, itu milik Nona Mia." Ucap asisten Irfan yang melihat Bosnya memungut sesuatu.
"Sepertinya begitu, dompet ini pasti akan dicari olehnya. Karena didalamnya terdapat benda-benda yang berharga," sahut pak Biromo sambil masuk kedalam mobil.
Pak Biromo duduk tenang di dalam mobil, sementara Irfan menutup pintu dan duduk di kursi depan. Mobil mulai melaju perlahan meninggalkan restoran, namun perhatian Pak Biromo masih tertuju pada dompet kecil berwarna cokelat tua yang kini ada di tangannya.
Dengan hati-hati, ia membuka dompet tersebut. Di dalamnya, terdapat beberapa kartu identitas, uang tunai, dan sebuah foto tua yang tampak sudah agak lusuh—foto seorang wanita paruh baya yang tersenyum hangat sambil memeluk anak perempuan kecil berambut ikal.
Pak Biromo memandangi foto itu lama.
“Ini pasti ibunya,” gumamnya pelan. Sorot matanya berubah. Dari sekadar rasa ingin tahu, kini ada gurat emosi yang samar di wajahnya—entah iba, atau mungkin rasa bersalah yang belum terjelaskan.
Di balik foto itu, terselip selembar kertas kecil yang dilipat rapi. Ia membukanya perlahan. Tulisan tangan halus memenuhi permukaan kertas, seperti catatan pribadi. Namun sebelum membacanya, ia menghentikan gerakannya.
“Irfan,” panggilnya.
“Ya, Tuan?”
“Sampaikan pada tim pengawal untuk tetap memantau Mia, diam-diam. Pastikan dia aman. Tapi jangan sampai dia tahu sedang diawasi.”
Irfan menoleh sejenak, tampak ragu. “Apakah Anda mencurigai sesuatu darinya, Tuan?”
Pak Biromo menggeleng pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Belum tentu. Tapi gadis itu menyimpan banyak luka. Dan orang yang menyimpan luka terlalu lama… bisa menjadi senjata paling mematikan, atau yang paling rapuh.”
Ia memejamkan mata sejenak, sementara dompet itu masih dalam genggamannya.
“Untuk sekarang, kita jaga dia. Tapi jika satu langkahnya saja melenceng dari rencana… kita harus siap mengambil keputusan.”
Irfan mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Ia tahu, saat Pak Biromo mulai berbicara setenang itu, artinya permainan benar-benar sudah dimulai—dan setiap pion di papan catur kini sedang bergerak pada tempatnya.
Saat Pak Biromo ingin melihat lebih teliti lagi, dengan rasa penasaran. Pak Biromo melihat sekali lagi photo yang ditangannya.
" Ini!," gumam pak Biromo yang terkejut melihat isi dompet Mia.
" Ana Shen, mengapa Mia mempunyai photo Ana Shen?. Siapa anak kecil yang bersama Ana?. Apakah anak kecil itu, Mia?," batin Pak Biromo yang dipenuhi dengan banyak pertanyaan datangannya bergetar hebat saat memegang photo yang berada di dompet tersebut.
Pak Biromo cukup terkejut saat melihat photo kekasih masa lalunya berada di dalam dompet Mia. Saat melihat photo Ana, dia mengingat masa lalu bersama Ana.
Tangan Pak Biromo menggenggam foto itu lebih erat, hingga jemarinya bergetar. Tatapan matanya kosong, seolah tertarik ke masa lalu yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam.
Ana Shen...
Nama itu terngiang begitu jelas di benaknya, seperti bisikan dari lorong waktu yang lama tertutup. Wajah dalam foto itu tak mungkin salah. Mata lembut itu, senyum hangat yang khas, dan... anak kecil perempuan yang berdiri di sampingnya.
“Tidak mungkin…,” desisnya pelan, hampir seperti menolak apa yang dilihatnya.
“Irfan… belokkan mobil. Kita tidak jadi ke kantor,” perintahnya tiba-tiba, suaranya berat dan mendesak.
“Ke mana kita, Tuan?” tanya Irfan sambil menoleh ke kaca spion.
Pak Biromo menatap foto itu sekali lagi, lalu menjawab pelan, “Ke tempat Mia. Sekarang.”
Irfan hanya mengangguk, tak berani bertanya lebih jauh. Ia tahu, ketika nama "Ana Shen" disebut oleh Pak Biromo, itu bukan urusan biasa. Nama yang tak pernah keluar dari mulut tuannya selama lebih dari dua dekade, kini kembali menghantui dengan cara yang tak terduga.
Sementara itu, di rumah Jerry xiao, Mia baru saja mengganti pakaiannya dan bersiap tidur saat tiba-tiba ponselnya berdering.
Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:
“Kau menjatuhkan sesuatu yang penting.”
Mata Mia melebar. Tangan refleks meraba tas kecil yang biasa ia bawa.
“Dompetku… tidak ada!” ucapnya terkejut, lalu cepat-cepat membuka semua isi tas dan meja, memastikan kekhawatirannya benar.
Foto Mama...
Pikiran Mia langsung kacau. Itu satu-satunya foto kenangan masa kecil yang ia simpan—foto terakhir yang ia miliki bersama mendiang ibunya, Ana Shen. Dan sekarang, foto itu berada di tangan orang lain.
Mia terdiam. Nafasnya tercekat. Tangan yang menggenggam ponsel mulai berkeringat.
Lalu, bunyi bel apartemennya berdentang.
Sekali.
Pelan, namun menggetarkan.
FLASHBACK
" Kurang ajar, kalian telah mengkhianatiku," cecar Ana yang melihat kekasihnya tengah berselingkuh di dalam kamar hotel.
" Ana, ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Kamu salah paham," balas Biromo yang ingin menjelaskan bahwa dia tengah dijebak.
" Ana!," teriak Biromo memanggil nama kekasihnya yang tengah berlari keluar dari kamar hotel.
Ana tak mau mendengarkan penjelasan apapun dari mulut kekasihnya itu. Yang dia tahu, kekasihnya tengah berselingkuh.
Dia berlari membawa rasa kecewa dan luka dihatinya. Air mata Ana terus menetes dan disapu oleh derasnya air hujan.
" Brengsek!," teriak Ana sambil mendongakkan kepalanya keatas.
" Dasar laki-laki, kurang ajar. Aku tak akan mau lagi mengenalmu, aku rasa cukup hubunganku sampai disini," sambung Ana sambil duduk tersipu dan menangis tersedu-sedu.
" Aku harus pergi jauh dari sini, aku tak ingin bertemu dengannya lagi," gumam Ana yang langsung beranjak pergi dan meninggalkan Surabaya.
Sedangkan Biromo panik, dia mencari-cari keberadaan Ana. Namun dia tidak menemukan Ana, bahkan di kontrakan sudah tidak ada lagi barang-barang Ana. Dia tak menemukan Ana, Biromo merasa bersalah.
" Bodoh, kenapa aku bisa dijebak?," geram Biromo yang menghardik dirinya sendiri.
"Wanita itu akan membayar semua atas rasa sakit yang dialami Ana," gumam Biromo sambil melangkah pergi untuk mencari Ana.
Biromo terus mencari Ana di seluruh Surabaya, Namun dia tidak mendapatkan informasi tentang Ana. Entah mengapa, semua informasi tentang Ana semua lenyap. Seperti ada yang membantunya untuk keluar dari Surabaya.
FLASH OFF.
[ Tolong cari informasi tentang anak yang bernama Mia. Semua identitasnya, saya menginginkannya dan cari tahu hubungan Mia dengan Ana.] pinta pak Biromo yang sedang menelpon seseorang.
[Baik, Tuan] sahut seseorang dari balik telepon.
Pak Biromo merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia harus menyelidiki semua dari awal lagi, entah mengapa dia harus melakukan penyelidikan kembali tentang Mia dan Ana.
Nama Ana masih selalu ada di hati dan pikirannya saat ini. Walau sudah bertahun-tahun lamanya, Biromo tak bisa melupakan seseorang yang bernama Ana.
Panggilan telepon berakhir, namun tangan Pak Biromo masih menggenggam ponselnya erat. Mobil terus melaju membelah jalan malam, namun pikirannya terjebak di masa lampau—di antara bayangan seorang wanita yang tak pernah benar-benar pergi dari hidupnya.
Ana Shen.
Nama itu kembali hidup seperti hantu dari masa lalu. Senyumnya. Suaranya. Tatapan matanya ketika mereka berpisah untuk terakhir kali… Semua kini menyeruak, membanjiri hati Pak Biromo yang selama ini membeku oleh dunia bisnis dan kekuasaan.
Ia menatap kembali foto yang masih tergenggam di tangannya. Anak ini… apakah benar dia darah daging Ana? Dan… apakah dia anakku juga?
Guncangan batin itu membuat napasnya sesak. Dulu, Ana pergi tanpa penjelasan. Tiba-tiba menghilang dari kehidupannya—hanya surat singkat dan pesan bahwa dia tidak bisa kembali.
Ia tidak pernah tahu alasannya. Hingga sekarang.
"Irfan," ucapnya pelan tapi tegas.
"Ya, Tuan?"
"Kalau Mia benar anak Ana… aku ingin tahu kenapa Ana menyembunyikannya dariku. Cari semua yang bisa kau temukan, dari siapa pun yang mengenal Ana—dulu dan sekarang."
Irfan mengangguk, menandai bahwa perintah itu akan segera dijalankan tanpa banyak tanya.
Pak Biromo menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, menutup mata, namun tak bisa tenang.
Ada rasa bersalah yang lama terkubur, kini mengusik kembali. Jika Mia benar anak Ana… maka artinya gadis yang sedang ia bawa masuk ke dalam permainan berbahaya itu, bukan hanya pion.
Dia mungkin... darah dagingnya sendiri.
Dan jika itu benar—maka segalanya berubah.
Sesampainya di depan rumah tempat tinggal sementara Mia—yang merupakan milik keluarga Xiao—mobil Pak Biromo berhenti perlahan. Sebelum supir sempat turun membukakan pintu, Pak Biromo sudah melangkah keluar sendiri, seolah dorongan dari pikirannya terlalu kuat untuk ditahan.
Namun yang membuat langkahnya terhenti sejenak adalah sosok Mia, yang ternyata sudah berdiri di depan pintu rumah, menunggunya.
Wajah Mia terlihat tenang, namun sorot matanya penuh tanya. Entah kenapa, ia merasa malam ini tidak biasa.
“Pak Biromo?” sapanya, mencoba menahan keraguan dalam suaranya.
Pak Biromo menatap gadis itu tanpa berkata-kata selama beberapa detik. Tatapannya tak lagi seperti seorang pebisnis yang menilai rekan kerjanya, tapi lebih… manusiawi. Penuh gejolak batin yang belum sempat dia redam.
“Kau tahu... kau menjatuhkan sesuatu yang penting,” ucapnya sambil mengangkat dompet kecil milik Mia.
Mia langsung melangkah cepat, mengambil dompet itu dengan kedua tangan. Nafasnya sedikit memburu. "Terima kasih, saya benar-benar tidak sadar menjatuhkannya..."
Pak Biromo masih menatapnya, namun kali ini lebih dalam. “Siapa wanita di dalam foto itu, Mia?” tanyanya langsung, suaranya rendah namun menekan.
Mia terdiam. Jemarinya menggenggam dompet itu erat. Rasa curiga langsung muncul dalam benaknya. Dia membuka dompetku… dan melihat foto Mama.
“Dia... ibuku,” jawab Mia akhirnya, pelan namun penuh keyakinan.
“Ana Shen?” tanya Pak Biromo, nyaris berbisik. “Kau… putri Ana Shen?”
Mata Mia membelalak. Ia mundur setengah langkah, menahan napas. “Bagaimana Anda tahu nama ibu saya?”
Pak Biromo terdiam. Dada dan pikirannya terasa sesak, seolah semua jawaban yang selama ini ia buang jauh kini kembali menuntutnya.
“Aku mengenalnya. Lebih dari siapa pun. Dulu, kami pernah... sangat dekat.” Ia menatap Mia lekat-lekat. “Dan jika kau memang anaknya… maka ada kemungkinan...”
Mia menatapnya, wajahnya kini tegang. “Apa maksud Anda, Tuan?”
Suasana tiba-tiba hening. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah. Sementara itu, keduanya saling menatap dalam keheningan—dua generasi yang mungkin terikat oleh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar dendam dan kerja sama.
Namun sebelum Pak Biromo menjawab, suara pintu rumah terbuka dari dalam.
Seorang wanita tua keluar sambil membawa secangkir teh. “Mia, ada tamu malam-malam begini?”
Mia menoleh. “Ini Pak Biromo, Bu Yanti. Kami hanya membahas sesuatu...”
Pak Biromo langsung merespons dengan sopan, “Selamat malam, Bu. Maaf mengganggu.”
Wanita itu mengangguk sopan dan kembali masuk. Namun momen emosional di antara mereka sudah terpotong.
“Aku akan menemuimu lagi, Mia. Segera,” ucap Pak Biromo sambil mundur pelan.
“Tunggu... Tuan Biromo… Anda belum menjawab. Siapa saya sebenarnya di mata Anda?”
Pak Biromo berhenti di anak tangga terendah. Ia menoleh setengah, namun tak menjawab. Hanya tatapan dalam penuh beban yang ia berikan.
"Besok, kamu langsung bekerja keperusahaan anakku Rico. Jadi yang tadi kita bicarakan akan diurus oleh bawahanku," ucap Biromo
Lalu, ia pergi.
Meninggalkan Mia yang kini berdiri sendiri di bawah langit malam, dengan dompet di tangan dan jantung yang berdebar lebih cepat dari sebelumnya.
Mia menatap punggung Pak Biromo yang semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik pintu mobil. Deru mesin perlahan menjauh, meninggalkan keheningan yang menusuk dalam. Langit malam tetap muram, seolah tahu bahwa hari esok tidak akan semudah hari ini.
Ia menggenggam dompetnya erat, lalu perlahan masuk ke dalam rumah. Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang tak sempat terjawab. Rico… anak Pak Biromo? Apa hubungan dia dengan semua ini? Dan kenapa beliau menatapku seperti itu?
Sesampainya di kamarnya, Mia duduk di ranjang dan membuka kembali dompetnya. Ia memandangi foto ibunya sekali lagi.
"Mama… siapa sebenarnya Ayahku? Kenapa saya merasa hidup saya selalu penuh rahasia?"
Namun malam tak memberinya jawaban, hanya keheningan yang membungkus kamar kecilnya dengan hawa dingin dan rasa gelisah.