Cherreads

Chapter 3 - BAB 3 Menunggu Pesan dari Gabriel

Hari-hari berlalu setelah pertemuan yang berat di mal. Setiap pagi, Jungwon berusaha bangun dengan pikiran yang lebih tenang, mencoba menjalani rutinitas harian tanpa terlalu membiarkan kesedihan merusak segalanya. Namun, ada satu hal yang selalu mengusik pikirannya—pesan dari Gabriel.

Jungwon tahu bahwa Gabriel sudah memilih jalannya, bahwa hubungan mereka mungkin telah berakhir, tapi bagian dalam dirinya yang masih berharap tak bisa dihentikan. Setiap kali ponselnya bergetar, setiap kali layar ponselnya menyala, hatinya langsung berdebar kencang. Meskipun ia tahu kemungkinan besar itu bukan pesan dari Gabriel, harapan itu tetap ada. Harapan bahwa mungkin Gabriel akan menghubunginya, memberi kabar, atau sekadar menanyakan kabar. Mungkin ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

Tapi pesan itu tidak pernah datang.

Pagi itu, seperti biasa, Jungwon duduk di depan meja belajarnya, memandangi layar ponselnya. Ia mengedipkan mata beberapa kali, seolah berharap itu bisa membuat layar ponselnya menyala dan menampilkan nama Gabriel di sana. Namun yang muncul hanya notifikasi dari aplikasi lain—sebuah pesan grup dari teman-teman lainnya, sebuah notifikasi dari aplikasi yang sudah lama tak ia buka, dan beberapa pesan tak penting.

Jungwon menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja dengan gerakan pelan, seolah tak ingin mengakui kenyataan bahwa Gabriel tak akan menghubunginya. Namun, meskipun kenyataan itu jelas, ia tetap tak bisa menghilangkan perasaan yang mendalam bahwa sesuatu masih bisa terjadi. Sesuatu yang akan membuat Gabriel kembali kepadanya.

Ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju jendela, menatap keluar. Langit pagi ini cerah, namun hatinya terasa sebaliknya—terlalu kelabu. Setiap hari seakan menjadi lebih panjang tanpa adanya kabar dari Gabriel. Jungwon berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan, bahwa ia harus memberi Gabriel ruang, memberi waktu bagi keduanya untuk pulih dari luka masing-masing. Tetapi bagian dalam dirinya tidak bisa berhenti berharap.

"Kenapa aku masih menunggu?" bisik Jungwon pada dirinya sendiri, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Cinta. Ia masih mencintai Gabriel, meskipun semuanya sudah berubah. Ia masih ingin memperbaiki apa yang telah hancur, meskipun tahu itu mungkin tak akan pernah kembali seperti semula.

Tiba-tiba ponselnya bergetar di atas meja, dan hatinya langsung berdebar kencang. Ia segera meraih ponselnya dengan cepat, berharap ini adalah pesan dari Gabriel. Tapi begitu ia membuka layar, ia melihat nama yang sama sekali tidak ia harapkan—Beomgyu.

Beomgyu mengirimkan pesan grup, dan meskipun ia merasa sedikit kecewa, Jungwon mencoba untuk tetap tenang. Ia membaca pesan Beomgyu yang mengajak mereka bertemu untuk hang out, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan siapa yang sebenarnya ingin dihubungi.

Namun, meskipun ia tersenyum kecil membaca pesan itu, perasaan kosong tetap ada di dalam hatinya. Keinginan untuk mendengar kabar dari Gabriel, untuk mendapatkan sedikit perhatian dari orang yang ia cintai, masih menghantui pikirannya. Setiap detik berlalu, Jungwon semakin merasa terjepit antara harapan dan kenyataan yang ada. Setiap detik tanpa pesan dari Gabriel membuatnya merasa semakin jauh.

Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berharap tanpa kepastian. Kehidupan harus berjalan, dan ia harus tetap berjalan meskipun hatinya masih ragu.

Sore itu, ketika ia sedang duduk di ruang tamu, ponselnya kembali bergetar. Hatinya langsung melompat, berharap kali ini itu adalah pesan dari Gabriel. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka layar ponselnya, dan kali ini… ya, itu adalah pesan dari Gabriel.

Nama itu, yang telah lama tidak muncul di layar ponselnya, kini hadir dengan satu pesan singkat:

"Hai, Jungwon. Maaf kalau aku sudah lama tidak menghubungi. Aku ingin bicara sebentar kalau kamu ada waktu."

Jungwon menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia ingin membalasnya segera, namun tiba-tiba kata-kata terasa sulit untuk keluar. Apa yang harus ia katakan? Apa yang harus ia jawab? Semua yang ada dalam pikirannya seperti saling bertabrakan.

Dengan napas berat, Jungwon mengetikkan balasan dengan jari yang sedikit gemetar.

"Aku ada waktu. Kapan pun kamu ingin bicara, aku siap."

Setelah mengirim pesan itu, ia kembali menatap ponselnya, menunggu dengan penuh kecemasan. Meskipun hanya sebuah pesan singkat, perasaan yang menyertai setiap kata itu begitu kuat. Hati Jungwon penuh dengan harapan, tetapi juga ketakutan—takut jika pembicaraan ini akan membuka luka lebih dalam, atau takut jika akhirnya ia akan mendengar kata-kata yang lebih sulit untuk diterima.

Namun, saat itu juga, ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi menunggu tanpa kepastian. Gabriel sudah menghubunginya, dan itu adalah awal dari sesuatu—sesuatu yang tidak bisa ia hindari. Apakah ini akan menjadi akhir atau sebuah awal baru, Jungwon tidak tahu. Tetapi satu hal yang ia yakini—ia tidak bisa melepaskan perasaan ini begitu saja.

Menunggu kabar dari Gabriel kini bukan hanya tentang menunggu pesan, tetapi juga tentang menunggu kepastian dari perasaan yang selama ini tersembunyi. Akankah ia siap dengan apa yang akan datang?

Hari-hari berlalu dengan cepat, namun setiap detiknya terasa penuh dengan kegelisahan. Setelah pesan dari Gabriel yang membuat hatinya berdebar-debar, Jungwon masih menunggu kabar lanjutan. Tetapi pada sore yang cerah itu, sesuatu yang tak terduga datang. Beomgyu menghubunginya.

Ponselnya bergetar, dan nama Beomgyu muncul di layar. Jungwon menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka pesan tersebut.

"Jungwon, bisa ketemu sebentar? Aku ingin bicara sesuatu denganmu."

Jungwon merasa ada yang aneh dengan pesan itu. Biasanya, Beomgyu tidak pernah mengirim pesan seperti itu. Meskipun mereka berteman dengan baik, kali ini ada rasa serius dalam kata-katanya. Entah kenapa, ada kecemasan yang tiba-tiba muncul di dalam diri Jungwon. Ia merasa seperti ada sesuatu yang besar yang akan terjadi.

Tanpa banyak berpikir, ia membalas pesan Beomgyu.

"Tentu, aku bisa. Di mana?"

Beomgyu membalas dengan cepat. "Kafe di dekat pusat kota. Aku tunggu di sana."

Jungwon menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, pertemuan ini mungkin akan mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah ia harapkan. Mungkin Beomgyu memiliki sesuatu untuk diceritakan—sesuatu yang akan mengubah segala sesuatunya.

Sesampainya di kafe, Jungwon langsung melihat Beomgyu duduk di sudut ruangan dengan secangkir kopi di depannya. Beomgyu terlihat tenang, tetapi mata Jungwon bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Beomgyu memandangnya saat ia datang, dan sebuah senyum kecil terulas di wajahnya.

Jungwon berjalan mendekat dan duduk di seberang Beomgyu. Mereka berdua diam sejenak, saling memandang satu sama lain, sebelum akhirnya Beomgyu membuka mulut.

"Aku nggak tahu harus mulai dari mana," kata Beomgyu pelan, menatap kopi di hadapannya. "Tapi ada sesuatu yang perlu aku katakan."

Jungwon menatap Beomgyu dengan penuh perhatian, meskipun hatinya berdebar. Ada sesuatu yang berat dalam suara Beomgyu. "Apa itu, Beomgyu?" tanya Jungwon, berusaha menjaga suara tetap tenang.

Beomgyu mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata Jungwon. Ada keraguan di matanya, tapi ada juga keteguhan yang dalam. "Jungwon, aku… aku udah lama nggak bilang ini, tapi aku rasa kamu harus tahu. Aku… aku punya perasaan lebih untuk Gabriel."

Jungwon terdiam, kata-kata Beomgyu menghantamnya dengan keras. Beomgyu… ternyata Beomgyu juga memiliki perasaan terhadap Gabriel. Ia tak bisa langsung mengungkapkan perasaannya, karena ada terlalu banyak yang harus dipikirkan. Gabriel, Beomgyu, dan dirinya sendiri. Semua itu berputar dalam benaknya, menciptakan kekosongan yang besar.

Jungwon berusaha tersenyum, meskipun senyumnya terasa sangat dipaksakan. "Aku tahu," jawabnya dengan suara yang terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan. "Aku sudah melihat itu. Aku tahu kamu peduli dengan Gabriel."

Beomgyu menundukkan kepala, seolah tidak bisa menatap Jungwon lebih lama. "Aku nggak pernah bermaksud untuk membuat kamu merasa tidak nyaman, Jungwon. Aku tahu hubungan kalian berdua sangat spesial, dan aku nggak ingin merusaknya. Tapi perasaan ini nggak bisa aku sembunyikan lagi."

Jungwon menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan perasaan yang mulai mengombang-ambing di dalam dirinya. Ada rasa sakit yang tiba-tiba datang, tetapi ia mencoba untuk menahannya. "Kamu nggak merusaknya, Beomgyu," jawab Jungwon dengan suara pelan. "Aku nggak bisa mengatakan kalau aku nggak tahu perasaan kamu. Tapi, Gabriel… dia udah punya pilihannya. Aku nggak bisa mengubah itu."

Beomgyu mengangguk, wajahnya tampak serius. "Aku tahu itu. Aku nggak berharap ada yang berubah. Aku cuma perlu jujur dengan diri sendiri dan dengan kamu."

Jungwon mencoba tersenyum lagi, meskipun senyum itu terasa rapuh. "Aku menghargai itu, Beomgyu. Aku juga ingin jujur dengan diriku sendiri. Tapi aku rasa ini sulit untuk diterima, untuk kita berdua."

Di balik senyuman yang dipaksakan itu, ada rasa sakit yang begitu dalam di hati Jungwon. Ia berusaha untuk tidak menunjukkan betapa terkejutnya ia mendengar perasaan Beomgyu terhadap Gabriel. Selama ini, ia tidak pernah mengira bahwa Beomgyu akan memiliki perasaan seperti itu.

Mereka terdiam beberapa saat, menikmati kesunyian yang penuh makna. Jungwon menyadari betapa banyak yang telah berubah dalam hidupnya—Gabriel, Beomgyu, dan dirinya sendiri. Meskipun sulit, ia berusaha menerima kenyataan ini. Bahwa Gabriel memiliki pilihan dan bahwa Beomgyu juga berjuang dengan perasaannya sendiri.

Akhirnya, Beomgyu mengangkat kepalanya dan menghela napas. "Aku nggak ingin kamu merasa terbebani dengan ini, Jungwon. Aku cuma merasa lebih baik kalau aku ngomong langsung sama kamu."

Jungwon mengangguk, berusaha untuk tetap tenang. "Aku menghargai itu, Beomgyu. Aku tahu ini bukan hal yang mudah buat kamu."

Beomgyu tersenyum tipis, meskipun ada kekhawatiran di matanya. "Terima kasih sudah mendengarkan, Jungwon."

Jungwon tersenyum kembali, meskipun dalam hatinya ada banyak perasaan yang bercampur. Ia tahu bahwa perasaan Beomgyu adalah bagian dari perjalanan ini. Semua orang memiliki jalan mereka sendiri, dan meskipun perasaan itu menyakitkan, ia harus menerima kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan.

"Terima kasih sudah jujur, Beomgyu," kata Jungwon, dengan senyum yang masih tetap ada meskipun terasa sedikit rapuh. "Kita semua hanya berusaha mencari kebahagiaan kita masing-masing, kan?"

Mereka berdua duduk diam beberapa saat lagi, menikmati keheningan yang tiba-tiba terasa begitu berat. Meskipun tidak ada kata-kata yang lebih dalam, perasaan mereka tersampaikan tanpa perlu diucapkan.

Hari-hari terasa semakin berat bagi Jungwon. Meski sudah mencoba untuk menenangkan dirinya, hatinya tetap saja tertekan. Pertemuan dengan Beomgyu di kafe masih terngiang jelas dalam pikirannya. Mendengar perasaan Beomgyu yang tertahan selama ini terhadap Gabriel membuat semuanya terasa semakin rumit. Meskipun ia berusaha untuk tetap tegar, setiap detik yang berlalu membuatnya merasa semakin rapuh.

Setelah pertemuan itu, Jungwon merasa bahwa ia butuh waktu untuk sendiri, tetapi di sisi lain, ia juga merasa kesepian. Dia tahu, meskipun Beomgyu sudah mengatakan perasaannya, ia tetap harus melanjutkan hidup, melangkah ke depan, meskipun sulit.

Dengan perasaan yang semakin tertekan, Jungwon mengambil keputusan untuk menelepon beberapa anggota lain untuk datang ke rumahnya. Ia tahu itu adalah keputusan yang tepat—berada di sekitar teman-temannya mungkin bisa memberinya sedikit kenyamanan, setidaknya bisa mengalihkan pikirannya dari segala yang mengganggu.

Jungwon menekan nomor Heeseung di ponselnya, berharap bisa berbicara dengan salah satu temannya yang sudah lama ia anggap sebagai saudara. Setelah beberapa dering, akhirnya ponselnya diangkat.

"Halo?" suara Heeseung terdengar jelas di seberang sana.

"Heeseung, ini Jungwon. Kamu lagi ada waktu nggak?" kata Jungwon, berusaha terdengar santai, meskipun dalam hatinya ada perasaan yang sulit untuk diungkapkan.

Heeseung terdiam sejenak, mungkin merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dalam suara Jungwon. "Ada apa, Jungwon? Kenapa tiba-tiba telepon aku?"

Jungwon tersenyum kecil meskipun ia tahu bahwa senyumnya tak sempurna. "Aku cuma pengen ada teman-teman di sini, Heeseung. Mungkin kita bisa hang out sebentar? Aku butuh sedikit waktu buat nyantai."

Heeseung tidak membalas langsung, namun Jungwon bisa mendengar bahwa Heeseung sedang berpikir. "Oke, aku akan coba ajak yang lain juga. Kalau kamu butuh sesuatu, bilang aja ya."

"Terima kasih, Heeseung," jawab Jungwon, merasa sedikit lega mendengar tanggapan teman dekatnya itu.

Beberapa saat kemudian, Heeseung tiba bersama beberapa anggota lainnya. Ketika mereka datang ke rumah Jungwon, suasana seketika terasa lebih hidup. Tawa dan obrolan ringan mengalir begitu saja, mengisi kekosongan yang sudah lama terasa di hati Jungwon. Namun meskipun ia berusaha untuk tertawa dan berbicara seperti biasa, hatinya tetap terasa berat. Setiap kali ia memandang teman-temannya, ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang.

Ketika mereka sedang duduk di ruang tamu, Heeseung duduk di sebelah Jungwon, memperhatikannya dengan seksama. Meskipun Jungwon berusaha tersenyum dan bergabung dalam obrolan, Heeseung merasakan bahwa ada yang tidak beres. Ekspresi wajah Jungwon tidak mencerminkan dirinya yang biasanya ceria. Ada ketegangan di tubuhnya, dan matanya tampak lebih kosong dari biasanya.

"Heeseung..." Jungwon akhirnya berkata pelan, dengan suara yang hampir tak terdengar. "Aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku... aku rasa semuanya mulai hancur."

Heeseung menatap Jungwon dengan tatapan yang penuh perhatian. Ia bisa merasakan ketegangan dalam suara Jungwon, dan itu membuatnya semakin khawatir. "Jungwon, kamu nggak perlu ngomong kayak gitu. Kita ada di sini, kok. Kalau ada yang perlu kamu cerita, kamu bisa bilang ke kita."

Jungwon mengangguk pelan, tetapi ia merasa hatinya semakin sesak. Walaupun teman-temannya ada di sekitarnya, ada sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. Ada perasaan yang terus menggerogoti dirinya, perasaan yang tidak bisa ia tahan lebih lama lagi.

Ketika mereka semua berbicara dan tertawa, Jungwon berusaha keras menahan air mata yang sudah siap untuk tumpah. Setiap detik yang berlalu, ia merasa semakin rapuh, seperti ada sesuatu yang sangat berat menekan dadanya. Ia ingin menangis, tetapi ia berusaha menahannya, tidak ingin terlihat lemah di hadapan teman-temannya.

Namun, semakin ia menahan, semakin terasa sakit. Setiap kata yang diucapkan, setiap tawa yang terdengar, semuanya mengingatkannya pada kenyataan yang harus diterimanya—bahwa Gabriel sudah tidak lagi ada dalam hidupnya seperti dulu. Dan Beomgyu, yang juga memiliki perasaan terhadap Gabriel, membuatnya merasa semakin terasing.

Akhirnya, setelah beberapa waktu berlalu, Jungwon tidak bisa menahan diri lagi. Tanpa bisa berkata apa-apa, air mata pertama mulai menetes di pipinya. Cepat sekali, seperti hujan yang tiba-tiba turun begitu deras. Ia menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan wajahnya dari teman-temannya, tetapi tidak ada yang bisa menutupi perasaan itu.

Heeseung yang duduk di sebelahnya segera menyadari perubahan itu. Ia menoleh, melihat wajah Jungwon yang kini dipenuhi dengan air mata yang tak bisa lagi ia tahan. Secepat kilat, Heeseung meraih tangan Jungwon, menggenggamnya erat, dan menariknya ke pelukannya.

"Jungwon..." Heeseung berkata dengan suara lembut, mencoba menenangkan sahabatnya. "Kamu nggak sendirian. Kamu nggak harus tahan ini sendirian."

Jungwon terisak, tubuhnya bergetar di pelukan Heeseung. "Aku nggak kuat, Heeseung. Aku nggak tahu harus gimana lagi. Rasanya semuanya hancur. Aku… aku masih mencintai Gabriel, tapi aku nggak tahu kalau dia juga merasa yang sama."

Tangisan Jungwon semakin pecah. Tidak hanya satu air mata yang mengalir, tetapi semuanya—kesedihan, kebingungannya, rasa kehilangan—semua itu keluar dalam tangisan yang begitu hebat. Ia merasakan kelegaan yang aneh, meskipun hatinya tetap hancur. Tidak ada lagi yang bisa ia sembunyikan, tidak ada lagi yang perlu ia tahan. Ia menangis dengan sekuat tenaga, dan dalam pelukan Heeseung, ia merasa sedikit lebih ringan.

Teman-temannya yang lain, yang menyaksikan adegan itu, terdiam. Mereka tidak tahu harus berbuat apa, tetapi mereka semua tahu bahwa Jungwon membutuhkan dukungan mereka lebih dari sebelumnya. Heeseung terus memeluknya, berusaha menenangkan sahabatnya yang sedang hancur.

"Aku di sini, Jungwon," bisik Heeseung dengan lembut. "Kami semua di sini untuk kamu. Kamu nggak perlu lewat ini sendirian."

Tangisan Jungwon akhirnya mereda, meskipun masih ada rasa sakit yang menggenang di hatinya. Ia tahu bahwa ini hanya awal dari perjalanan panjang yang harus ia jalani. Tapi setidaknya, untuk malam itu, ia merasa sedikit lebih baik, karena ia tahu bahwa teman-temannya ada di sana untuk mendukungnya.

Setelah beberapa saat, tangisan Jungwon perlahan mulai mereda, meskipun air mata masih menggenang di matanya. Heeseung tetap memeluknya erat, mencoba menenangkan dengan kata-kata lembut yang seolah bisa menghapus sedikit rasa sakit di hati Jungwon. Namun, meskipun ia tampak lebih tenang, perasaan sesak yang menghimpit dadanya belum juga hilang.

Jungwon menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengatur pernafasannya. Ia menyeka air mata di pipinya, tetapi ia tahu, meskipun tangisan itu sudah sedikit reda, rasa sakit dalam hatinya masih terpendam dalam-dalam. Setiap kali ia memikirkan Gabriel, setiap kali ingatannya kembali ke pertemuan dengan Beomgyu, hatinya kembali terasa remuk.

Ia mencoba tersenyum lemah, meskipun tidak benar-benar berhasil. "Maaf, aku... nggak tahu kenapa bisa kayak gini," ucapnya pelan, suaranya serak karena tangisan yang masih tersisa.

Heeseung hanya menggelengkan kepala, wajahnya penuh dengan kekhawatiran. "Kamu nggak perlu minta maaf, Jungwon. Semua orang punya momen kayak gini. Jangan pernah merasa kamu harus menahan semuanya sendirian."

Jungwon mengangguk pelan, tetapi hatinya masih terasa begitu kosong. Keheningan itu kembali menyelimuti mereka, meskipun kini suasananya lebih ringan berkat perhatian teman-temannya yang tak henti-hentinya memberikan dukungan. Mereka semua duduk di sekitar Jungwon, menunggunya untuk berbicara atau melakukan apapun yang bisa membuatnya merasa sedikit lebih baik.

Namun, tak lama setelah itu, tiba-tiba hati Jungwon kembali terjepit oleh rasa sakit yang mendalam. Ingatan tentang Gabriel—tentang bagaimana ia pernah merasa begitu dicintai dan begitu berarti—muncul begitu saja dalam pikirannya. Ia merasa seperti ada yang hilang, sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh apa pun.

Air matanya mulai mengalir lagi, perlahan namun pasti. Meskipun ia berusaha menahannya, ia tidak bisa lagi menahan perasaan itu. Tangisan kembali datang, kali ini lebih dalam, lebih pilu. Jungwon menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan wajahnya dari teman-temannya, tetapi Heeseung, yang berada di sampingnya, langsung menyadari perubahan itu.

"Heeseung..." suara Jungwon terdengar sangat rapuh, begitu penuh dengan kesedihan yang tak bisa lagi ia sembunyikan. "Aku nggak bisa. Aku nggak tahu harus gimana lagi."

Heeseung memandangnya dengan penuh empati, dan tanpa berpikir panjang, ia merangkul Jungwon lagi, menariknya lebih dekat. "Jungwon, kamu nggak sendirian," katanya dengan suara lembut. "Kami di sini buat kamu."

Teman-temannya yang lain, yang duduk di sekitar mereka, segera ikut bergabung. Sunghoon, Sunghwa, dan Sunoo, mereka semua berdiri di dekat Jungwon, memberikan pelukan hangat. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang kata-kata—ini tentang keberadaan mereka, tentang rasa solidaritas yang bisa memberikan sedikit kenyamanan.

"Jungwon, kamu berharga," kata Sunghoon pelan, menepuk punggungnya dengan lembut. "Jangan merasa kamu harus menanggung semua ini sendiri. Kita semua di sini buat kamu."

Sunoo, yang biasanya ceria, sekarang berbicara dengan penuh keprihatinan. "Kamu nggak harus kuat terus, Jungwon. Kamu bisa merasa lemah, kamu bisa menangis, dan itu nggak masalah. Kami akan tetap ada di sampingmu."

Mendengar kata-kata teman-temannya, Jungwon merasa sedikit lebih ringan, tetapi rasa sakit di hatinya masih terasa. Ia merasa seperti ada lubang besar yang menganga di dadanya, dan meskipun teman-temannya memberikan dukungan, lubang itu tetap ada. Ada perasaan kehilangan yang begitu mendalam, dan itu tak bisa dihilangkan begitu saja.

Jungwon menangis lagi, kali ini lebih keras, lebih meledak. Ia tidak lagi bisa menahan isak tangisnya. Semua perasaan yang selama ini ia pendam, semua kesedihan yang terpendam dalam hatinya, akhirnya keluar dengan bebas. Ia menangis sepuasnya, tanpa peduli lagi dengan apapun. Air mata yang tak bisa lagi ia tahan mengalir deras, dan tubuhnya bergetar hebat.

Heeseung, yang masih memeluknya erat, tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya membiarkan Jungwon menangis, memberikan kenyamanan tanpa kata-kata. Begitu juga dengan teman-temannya yang lain. Mereka tetap di sekitar Jungwon, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. Meskipun tak ada kata yang bisa menyembuhkan luka di hatinya, mereka tahu bahwa mereka ada di sini untuk memberi kekuatan.

Tangisan Jungwon berlangsung beberapa lama, sampai akhirnya ia merasa kelelahan. Namun, meskipun ia sudah menangis cukup lama, hatinya masih terasa hancur. Ia merasa seolah-olah tidak akan ada akhir untuk perasaan ini—perasaan yang datang begitu mendalam, begitu kuat. Ia ingin berhenti menangis, tetapi hatinya tidak mengizinkannya.

"Heeseung..." Jungwon berkata pelan, suaranya lemah dan hampir tak terdengar. "Aku merasa seperti nggak ada yang bisa mengerti. Semua yang aku lakukan nggak cukup. Gabriel sudah pergi... dan aku nggak tahu bagaimana cara bertahan."

Heeseung hanya memeluknya lebih erat, tidak perlu berkata apa-apa. Tidak ada yang bisa menjawab perasaan yang begitu dalam. Semua yang bisa mereka lakukan adalah tetap berada di sana, menemani Jungwon selama dia menempuh perjalanan emosional yang begitu sulit ini.

"Jungwon," kata Heeseung lembut, "itu bukan salah kamu. Terkadang, hal-hal yang kita cintai nggak bisa kita pertahankan. Tapi kamu nggak sendirian dalam ini."

Jungwon hanya mengangguk, meskipun masih ada air mata yang mengalir. Ia merasa sedikit lebih baik, sedikit lebih tenang dengan keberadaan teman-temannya. Tapi rasa sakit itu, kehilangan itu, masih terus menghantui. Tak ada yang tahu seberapa lama ia harus menunggu untuk merasakan kedamaian kembali.

More Chapters