Cherreads

Chapter 4 - BAB 4 Kenyataan yang Menyakitkan

Hari demi hari berlalu, tetapi rasa sakit di hati Jungwon tidak pernah benar-benar hilang. Semuanya terasa semakin berat ketika ia mulai mendengar kabar tentang Gabriel dan Beomgyu. Kabar bahwa mereka semakin dekat membuat Jungwon merasa seolah-olah dunianya runtuh. Setiap kali ia mendengar cerita tentang kedekatan mereka, hatinya seperti dipenuhi dengan luka yang tak kunjung sembuh.

Jungwon tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menghindari kenyataan. Gabriel bukan lagi bagian dari hidupnya seperti dulu, dan meskipun ia berusaha keras untuk tetap kuat, setiap kabar tentang Gabriel bersama Beomgyu semakin menyakitinya. Rasa cemburu dan patah hati bercampur menjadi satu, menciptakan kekacauan emosional yang tidak bisa ia kendalikan.

Pagi itu, Jungwon duduk di ruang latihan bersama Heeseung. Mereka sedang istirahat setelah berlatih untuk jadwal mereka berikutnya. Seperti biasa, Heeseung duduk di sebelahnya, mengawasi Jungwon dengan cermat. Sejak kejadian beberapa waktu lalu, Heeseung menjadi lebih perhatian terhadap Jungwon. Ia tahu betapa beratnya perasaan yang dipendam oleh adik kecilnya itu.

Saat itu, ponsel Jungwon bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk. Dengan hati yang berdebar, ia melihat layar ponselnya. Nama Gabriel terpampang di sana. Jungwon ragu sejenak sebelum akhirnya membuka pesan tersebut.

Pesan itu tidak panjang, hanya beberapa baris. Namun, cukup untuk membuat hati Jungwon kembali terluka. Gabriel memberitahu bahwa ia sedang pergi bersama Beomgyu. Cerita mereka berdua, bagaimana mereka berbagi waktu dan tawa, tergambar jelas dalam pesan itu. Gabriel sepertinya tidak menyadari betapa menyakitkan kabar itu bagi Jungwon.

Mata Jungwon langsung memanas, dadanya terasa sesak. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya, tetapi rasanya sulit sekali. Ia bisa merasakan air mata yang mulai menggenang di matanya, tetapi ia tidak ingin menangis di depan Heeseung. Tidak lagi. Ia sudah terlalu sering menangis.

Jungwon menggenggam ponselnya erat-erat, berusaha menahan rasa sakit yang membanjiri hatinya. Bibirnya bergetar saat ia menatap layar ponsel itu, membaca ulang pesan dari Gabriel. Bagaimana bisa Gabriel begitu ceria saat memberitahukan tentang Beomgyu? Jungwon merasa seolah-olah ia benar-benar terlupakan.

Heeseung, yang duduk di sebelahnya, melihat perubahan di wajah Jungwon. Ia bisa merasakan bahwa sesuatu sedang terjadi. Ekspresi wajah Jungwon yang tiba-tiba tegang, bagaimana ia tampak berusaha keras menahan sesuatu, membuat Heeseung langsung peka.

"Jungwon?" panggil Heeseung pelan, khawatir. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Jungwon, mencoba membaca situasi. "Ada apa? Kamu kelihatan nggak baik."

Jungwon menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah. "Nggak... nggak ada apa-apa, hyung," jawabnya dengan suara yang terdengar bergetar. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan kesedihan dalam suaranya.

Heeseung tahu itu bohong. Ia sudah mengenal Jungwon terlalu lama untuk tidak menyadari ketika adiknya sedang berusaha menutupi perasaan. Dengan lembut, Heeseung meraih bahu Jungwon, menepuknya pelan. "Jungwon, kamu nggak perlu nyembunyiin apa-apa. Kamu bisa cerita ke aku."

Mendengar kata-kata itu, pertahanan Jungwon mulai runtuh. Air mata yang sejak tadi ditahannya mulai mengalir, satu per satu menetes jatuh ke pipinya. Ia menundukkan kepalanya lebih dalam, berusaha keras untuk tidak menangis terlalu keras. Namun, emosi yang ia rasakan terlalu kuat untuk ditahan.

"Aku... aku nggak tahu kenapa ini harus terjadi, hyung..." kata Jungwon pelan, suaranya serak karena menahan tangis. "Kenapa aku nggak bisa lupa? Kenapa Gabriel... kenapa dia harus bersama Beomgyu?"

Heeseung merasa hatinya teriris mendengar curahan hati Jungwon. Ia tahu betapa dalam cinta Jungwon kepada Gabriel, dan betapa sulitnya bagi Jungwon untuk melihat Gabriel bersama orang lain—terlebih lagi Beomgyu, seseorang yang juga dekat dengan mereka. Heeseung tidak perlu bertanya lebih banyak untuk memahami betapa sakitnya Jungwon saat ini.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Heeseung langsung menarik Jungwon ke dalam pelukannya. Ia membiarkan Jungwon menangis di dadanya, tanpa berusaha menahan atau menenangkan terlalu cepat. Ia tahu bahwa saat ini, Jungwon butuh untuk melepaskan semua emosi yang ia simpan selama ini.

Jungwon menangis pelan di pelukan Heeseung. Tubuhnya bergetar, dan isak tangisnya terdengar tertahan. "Aku masih sayang Gabriel, hyung... Tapi sekarang dia bersama Beomgyu... Aku nggak bisa berhenti mikirin mereka..."

Heeseung mengusap punggung Jungwon dengan lembut, memberikan sentuhan yang menenangkan. "Jungwon, aku ngerti ini berat buat kamu. Tapi ingat, kamu nggak perlu melalui semua ini sendirian. Kami semua ada di sini buat kamu."

Jungwon menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang lebih besar. Ia merasa lelah—lelah dengan perasaan ini, lelah dengan kenyataan yang harus ia terima. "Kenapa... kenapa harus seperti ini, hyung? Kenapa Gabriel harus pilih Beomgyu? Apa yang salah dengan aku?"

Mendengar pertanyaan itu, Heeseung merasa hancur. Ia tahu bahwa Jungwon sedang berada di titik terendah dalam hidupnya, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah proses yang harus dijalani. "Jungwon, nggak ada yang salah dengan kamu. Cinta memang nggak selalu bisa kita kendalikan. Gabriel dan Beomgyu punya jalan mereka sendiri. Tapi itu nggak berarti kamu kurang atau nggak berharga."

Jungwon hanya bisa menangis lebih keras. Hatinya terasa hancur. Ia tahu bahwa Heeseung benar, tetapi perasaan sakit itu tetap ada, perasaan dikhianati oleh perasaan cinta yang begitu dalam.

Setelah beberapa saat, isak tangis Jungwon perlahan mulai mereda, meskipun air mata masih terus mengalir. Heeseung tidak melepaskan pelukannya, membiarkan Jungwon tetap dalam dekapan hangatnya, memberikan kenyamanan yang mungkin tidak bisa menghilangkan rasa sakit, tetapi setidaknya membuatnya merasa tidak sendirian.

"Kamu nggak harus kuat sepanjang waktu, Jungwon," bisik Heeseung pelan. "Kalau kamu butuh menangis, menangislah. Kami di sini untuk kamu, kapan pun kamu butuh."

Jungwon mengangguk pelan di dada Heeseung. Meskipun rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang, ia merasa sedikit lebih baik. Setidaknya, untuk saat ini, ia tahu bahwa ia punya teman-teman yang siap mendukungnya dalam perjalanan panjang menuju penyembuhan.

Malam itu, Jungwon duduk di sudut kamarnya, hanya diterangi oleh lampu tidur kecil di meja samping tempat tidurnya. Udara dingin musim dingin yang menyusup dari jendela seolah memperparah rasa dingin yang sudah menghantui hatinya. Di tangannya, ponselnya terus bergetar pelan. Jungwon menggigit bibir bawahnya sambil menatap layar, jari-jarinya bermain di atas keyboard pesan, mengetik kata demi kata yang tak pernah ia kira akan ia kirimkan lagi.

Jungwon: "Gabriel, apa kabar? Aku masih di sini, masih menunggu... Aku masih berharap kita bisa bicara. Aku cuma mau tahu, apa kamu baik-baik aja?"

Ia menekan "kirim," lalu melihat tanda pengiriman yang menunjukkan bahwa pesan itu sudah masuk ke ponsel Gabriel. Tapi, seperti beberapa pesan yang sudah-sudah, tidak ada tanda-tanda bahwa Gabriel akan membuka atau membalasnya. Jungwon mendesah pelan. Sekali lagi, pesan itu terkirim tanpa jawaban.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Jungwon mencoba menghubungi Gabriel. Dalam beberapa minggu terakhir, ia sering kali mengirim pesan-pesan sederhana, berharap Gabriel setidaknya akan merespon, mungkin hanya dengan satu kata atau bahkan tanda baca. Tapi sejauh ini, semua pesan itu tetap tak terbuka. Pesan yang masuk ke ruang hampa, seolah-olah tidak ada yang di seberang sana.

"Kenapa aku masih berharap?" gumamnya pada diri sendiri, suaranya nyaris berbisik di keheningan malam. Rasa kecewa dan putus asa semakin mendalam. Namun, meskipun Gabriel tak lagi merespons, Jungwon tidak bisa berhenti mengirim pesan. Ada bagian dari hatinya yang masih menolak menerima kenyataan bahwa semua ini mungkin sudah berakhir.

Jungwon menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan perasaannya yang mulai kacau lagi. Hatinya terasa sesak, penuh dengan emosi yang ia coba sembunyikan. Ia tahu bahwa Gabriel kini bersama Beomgyu, dan itu membuatnya semakin sulit. Namun, sebagian dari dirinya masih berharap, walau hanya secercah, bahwa Gabriel akan kembali.

Dari kejauhan, suara ketukan di pintu terdengar. Pintu kamar Jungwon perlahan terbuka, memperlihatkan wajah Sunghoon yang sedikit mengintip. "Hei, Jungwon. Kamu lagi ngapain?"

Jungwon terkejut sejenak, lalu buru-buru menyimpan ponselnya di bawah bantal. "Nggak, nggak ada. Cuma lagi duduk aja," jawabnya dengan senyum tipis, berusaha menyembunyikan apa yang baru saja ia lakukan.

Sunghoon berjalan masuk ke kamar, matanya memperhatikan Jungwon yang tampak lesu. Ia sudah bisa menduga bahwa ada sesuatu yang tidak beres. "Kami semua lagi di ruang tengah. Ada sesuatu yang mau kita bicarakan sama kamu," kata Sunghoon sambil tersenyum.

Jungwon merasa ada yang aneh, tetapi ia bangkit dari tempat tidurnya dan mengikuti Sunghoon ke ruang tengah. Di sana, member lain—Heeseung, Sunoo, Jay, Jake, dan Ni-ki—sudah duduk di sofa, menunggu. Mereka semua tampak ceria, meskipun Jungwon tahu bahwa mereka juga khawatir dengan dirinya selama beberapa minggu terakhir.

Saat Jungwon masuk, Heeseung langsung berdiri dan merangkulnya dari belakang. "Jungwon, kami semua udah sepakat. Kita harus pergi liburan!" seru Heeseung sambil tersenyum lebar.

"Liburan?" Jungwon menatap mereka semua dengan bingung.

Jake mengangguk penuh semangat. "Iya! Kita semua merasa kamu butuh waktu buat rileks dan bersenang-senang. Udah terlalu lama kamu terjebak dalam situasi ini, Wonnie. Jadi, kita mau ngajak kamu pergi liburan. Kita bisa ke tempat yang tenang, ngelupain semua masalah, dan nikmatin waktu bareng-bareng."

Sunoo, yang duduk di pojokan, menambahkan, "Yup, kita udah merencanain semuanya. Paling nggak untuk beberapa hari aja. Kami semua juga butuh istirahat, kan?"

Jungwon tersenyum lemah mendengar semangat teman-temannya. Mereka semua benar, ia memang butuh istirahat. Selama ini, ia terlalu sibuk memikirkan Gabriel, pesan yang tak kunjung dibalas, dan perasaan hatinya yang semakin kacau. Mungkin, liburan bersama teman-temannya akan memberinya sedikit kelegaan.

Tapi di dalam hati, ia masih merasa ada sesuatu yang tertinggal. Sebagian dari dirinya masih terikat pada ponselnya, berharap suatu saat, Gabriel akan merespons. Namun, ia tidak bisa terus-menerus seperti ini.

"Aku nggak tahu, guys... Aku masih nggak yakin," kata Jungwon pelan, mencoba mencari alasan untuk menolak.

Heeseung langsung memeluk Jungwon lebih erat dan menepuk pundaknya. "Dengar, Jungwon. Kami semua tahu kamu masih mikirin Gabriel, tapi kamu juga harus ingat kalau ada orang-orang lain di sekitarmu yang peduli sama kamu. Kita semua di sini buat kamu, dan kita cuma mau kamu merasa lebih baik."

"Hyung benar," Sunghoon menimpali. "Kita pergi cuma beberapa hari aja, kok. Kamu nggak perlu mikirin apa-apa. Kita bisa bersenang-senang, ngelupain masalah, dan cuma menikmati waktu bareng-bareng."

Ni-ki, yang biasanya paling tenang, tiba-tiba berdiri dan menyahut, "Jungwon, kita bisa main ski! Bukannya kamu suka olahraga itu? Dan kita bisa coba banyak hal seru lainnya."

Jungwon menatap teman-temannya satu per satu. Mereka semua tampak sangat bersemangat dan sungguh-sungguh ingin membuatnya merasa lebih baik. Hatinya terasa hangat melihat betapa mereka peduli padanya, dan itu memberinya kekuatan. Mungkin, untuk sekali ini, ia bisa membiarkan dirinya menikmati waktu tanpa harus terus-menerus memikirkan Gabriel.

Akhirnya, setelah beberapa detik berpikir, Jungwon mengangguk perlahan. "Oke, aku ikut. Kalian benar... mungkin aku memang butuh istirahat."

Mendengar jawaban itu, seluruh ruangan seketika bersorak. Heeseung, Sunoo, Jay, Jake, Sunghoon, dan Ni-ki langsung merangkul Jungwon dengan semangat, seperti mereka baru saja memenangkan pertandingan besar.

"Yesss! Liburan, here we go!" seru Jake sambil tertawa.

Sunoo menyeringai. "Kita bakal bersenang-senang, Jungwon. Kamu nggak akan nyesel ikut sama kami."

Jungwon tertawa kecil, meskipun di dalam hatinya masih ada sisa-sisa rasa sedih. Tapi untuk kali ini, ia akan mencoba mengesampingkan semuanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menikmati waktu bersama teman-temannya, meskipun masih ada luka yang belum sembuh.

Beberapa hari setelah keputusan liburan itu dibuat, Jungwon dan para member lain akhirnya berangkat menuju villa yang telah mereka pesan di sebuah daerah pegunungan. Lokasinya cukup terpencil, jauh dari hiruk-pikuk kota Seoul, dengan pemandangan indah yang dipenuhi hutan pinus dan hamparan salju putih. Udara dingin musim dingin terasa sejuk dan menyegarkan, membawa ketenangan yang sudah lama mereka rindukan.

Perjalanan mereka dipenuhi dengan canda tawa. Jay yang selalu kocak, Sunoo yang selalu ceria, dan Jake yang tak pernah kehabisan energi membuat suasana mobil penuh dengan tawa dan kegembiraan. Jungwon duduk di tengah, berusaha ikut tertawa dengan mereka. Meskipun hatinya masih berat, suasana hangat ini membantu mengurangi sedikit beban yang ia rasakan.

Setelah perjalanan beberapa jam, akhirnya mereka sampai di villa yang telah mereka sewa. Villa itu tampak begitu nyaman dan mewah, dengan dinding kayu, jendela-jendela besar yang langsung menghadap ke pemandangan gunung, dan perapian yang sudah siap menyambut mereka dengan hangat. Begitu mereka masuk, udara dingin di luar terasa lenyap, digantikan oleh kehangatan rumah yang nyaman.

"Wow! Tempat ini keren banget!" seru Sunoo sambil berlari ke dalam, melompat ke sofa empuk di ruang tengah. Ni-ki menyusul di belakangnya, langsung merosot ke sebelah Sunoo sambil tertawa lebar.

"Ini tempat yang sempurna buat bersantai," kata Jay, melemparkan jaketnya ke kursi dan mengagumi pemandangan dari jendela besar yang menghadap ke lereng gunung.

Heeseung, yang paling bertanggung jawab mengatur perjalanan ini, tersenyum puas. Ia memandangi teman-temannya yang tampak gembira, merasa lega karena akhirnya mereka bisa beristirahat sejenak dari rutinitas yang melelahkan. Namun, perhatiannya masih tertuju pada satu orang: Jungwon.

Heeseung tahu bahwa liburan ini bukan hanya soal bersenang-senang bagi Jungwon. Ini adalah momen bagi adik kecilnya untuk melepaskan beban emosional yang sudah ia pikul selama beberapa waktu terakhir. Heeseung berharap dengan berada di sini, jauh dari semua tekanan dan drama, Jungwon bisa mendapatkan ketenangan yang ia butuhkan.

Setelah menaruh barang-barang mereka di kamar masing-masing, mereka semua berkumpul di ruang tengah. Jay dan Sunghoon mulai menyalakan perapian, sementara Jake dan Ni-ki sibuk menyiapkan makanan kecil. Heeseung duduk di sofa, memperhatikan Jungwon yang kini terlihat lebih santai dibanding beberapa hari terakhir.

Seperti yang lain, Jungwon ikut menikmati suasana. Ia duduk bersandar di kursi dekat jendela, menatap ke luar melihat hamparan salju putih yang membentang sejauh mata memandang. Hatinya masih sedikit gelisah, tetapi suasana villa ini memberinya ketenangan yang lama hilang.

Malam tiba, dan mereka semua duduk mengelilingi meja di ruang tengah. Obrolan santai berlanjut, diselingi dengan tawa keras ketika Jay membuat lelucon konyol yang membuat Sunoo hampir tersedak makanannya. Jungwon yang semula hanya tersenyum tipis, kini mulai tertawa lepas. Tangis dan kesedihan yang ia bawa beberapa minggu terakhir terasa sedikit memudar saat ia mendengar tawa teman-temannya.

Heeseung yang duduk di seberang meja, diam-diam memperhatikan perubahan di wajah Jungwon. Ada sesuatu yang berbeda kali ini—Jungwon terlihat lebih rileks. Mungkin belum sepenuhnya lepas dari rasa sakitnya, tetapi Heeseung tahu bahwa ini adalah langkah kecil yang penting. Melihat Jungwon tertawa, meskipun hanya untuk sesaat, membuat hati Heeseung merasa lega.

"Ini baru Jungwon yang kita kenal," bisik Heeseung pada Jay yang duduk di sebelahnya. Jay hanya mengangguk dan tersenyum, ikut merasa senang karena Jungwon mulai kembali menjadi dirinya yang dulu.

"Hyung, kenapa ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Jungwon tiba-tiba, tersenyum ke arah Heeseung yang masih memperhatikannya. Heeseung tersentak sejenak, lalu tertawa kecil.

"Nggak apa-apa, aku cuma senang lihat kamu bisa tertawa lagi, Jungwon. Aku tahu belakangan ini nggak mudah buat kamu."

Jungwon menunduk sedikit, menyadari perhatian teman-temannya. "Makasih, hyung... Aku tahu kalian semua udah banyak bantu aku. Maaf kalau aku jadi merepotkan kalian."

"Nggak usah ngomong gitu. Kamu nggak merepotkan sama sekali," jawab Sunghoon cepat, melemparkan kacang ke arah Jungwon sambil tersenyum. "Kita keluarga, ingat? Keluarga itu selalu saling dukung."

Jungwon tertawa kecil, merasa lebih baik mendengar kata-kata itu. Walau masih ada luka yang belum sembuh, ia merasa tidak sendirian. Selama ini, ia terlalu fokus pada rasa sakitnya sendiri, lupa bahwa ada orang-orang di sekitarnya yang peduli dan selalu ada untuknya.

Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama dengan bermain game, menonton film, dan bercanda tanpa henti. Villa yang tadinya sunyi, kini dipenuhi dengan tawa riang yang tak kunjung habis. Setiap member saling menggoda satu sama lain, dan Jungwon pun ikut dalam kegembiraan itu.

Ketika malam semakin larut, mereka semua mulai lelah dan memutuskan untuk tidur. Jungwon duduk di sofa, masih tersenyum kecil sambil menatap perapian yang mulai padam. Heeseung, yang terakhir bangkit dari kursinya, mendekati Jungwon dan menepuk bahunya pelan.

"Bagaimana rasanya, Jungwon? Sudah sedikit lebih ringan?" tanya Heeseung lembut.

Jungwon menatap Heeseung dan tersenyum. "Iya, hyung. Rasanya lebih baik. Mungkin ini yang aku butuhkan—waktu bareng kalian semua, jauh dari semua masalah."

Heeseung tersenyum penuh pengertian. "Itu bagus. Ingat, kamu nggak harus buru-buru sembuh, Jungwon. Kita di sini buat kamu, kapan pun kamu butuh."

Jungwon mengangguk pelan, hatinya terasa lebih hangat dari sebelumnya. Ia tahu bahwa perjalanannya untuk melepaskan perasaan ini masih panjang, tetapi dengan teman-temannya di sisinya, ia merasa lebih kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

Malam itu, suasana di villa benar-benar berubah. Setelah lama merasakan ketegangan emosional, Jungwon akhirnya bisa tertawa lepas bersama para member lainnya. Villa yang tadinya sunyi, kini dipenuhi dengan tawa dan suara riang. Mereka semua duduk melingkar di ruang tengah, dengan beberapa makanan ringan berserakan di meja, dan video game yang menyala di TV.

"Siap-siap kalah, Sunoo!" seru Ni-ki dengan penuh semangat, memegang kontroler game dengan tangan penuh keyakinan.

"Ya, ya... Lihat aja nanti!" balas Sunoo dengan senyum percaya diri, tak mau kalah.

Jungwon, yang duduk di samping mereka, ikut menyaksikan pertandingan antara Ni-ki dan Sunoo di video game balapan yang mereka mainkan. Semua orang tertawa dan bersorak setiap kali salah satu dari mereka melakukan kesalahan atau bertabrakan di lintasan.

"Ahh, Ni-ki! Kenapa kamu mainnya seperti itu?!" teriak Sunoo, menggelengkan kepala dengan frustrasi saat mobil virtualnya jatuh ke tepi lintasan.

"Karena aku lebih jago darimu, hyung!" jawab Ni-ki sambil tertawa terbahak-bahak.

Tawa mereka memenuhi ruangan, membuat suasana semakin ceria. Jay dan Jake duduk di lantai sambil makan camilan, sementara Sunghoon dan Heeseung bersandar di sofa, tertawa terbahak-bahak melihat betapa kompetitifnya Ni-ki dan Sunoo.

Jungwon duduk di antara mereka semua, merasa bahwa untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, beban yang ia rasakan sedikit terangkat. Tertawa bersama teman-temannya membuat ia lupa sejenak tentang rasa sakit yang ia rasakan. Ia tahu bahwa masa sulitnya belum sepenuhnya berlalu, tetapi saat ini, ia merasa lebih ringan.

Setelah beberapa putaran permainan, Ni-ki akhirnya keluar sebagai pemenang. Sunoo, yang kalah, mengeluh sambil menggembungkan pipinya, membuat semua orang tertawa lagi.

"Jadi, kapan kita mulai latihan lagi untuk konser?" tanya Jay tiba-tiba, mengubah topik pembicaraan.

Heeseung meneguk minumannya sebelum menjawab, "Setelah liburan ini, kita harus mulai persiapan serius. Tur konser besar kali ini bakal jadi yang paling besar buat kita, jadi kita harus siap sepenuhnya."

Jake mengangguk setuju. "Iya, aku udah nggak sabar buat tampil di panggung lagi. Apalagi nanti kita akan mengunjungi lebih banyak negara daripada sebelumnya."

Mereka mulai berbicara tentang tur konser mereka yang akan datang, berbagi harapan dan kegembiraan tentang bagaimana mereka ingin menampilkan pertunjukan terbaik untuk para penggemar. Jungwon mendengarkan dengan seksama, sesekali tersenyum dan menyumbangkan pendapatnya.

"Aku rasa konser kali ini akan jadi luar biasa," kata Sunghoon dengan penuh semangat. "Kita punya banyak lagu baru dan koreografi yang keren. Aku yakin ENGENE bakal suka banget."

Sunoo mengangguk penuh antusias. "Apalagi kita punya beberapa kejutan buat mereka. Ini pasti akan jadi tur yang nggak terlupakan."

Jungwon merasa sedikit lebih semangat mendengar obrolan tentang tur konser itu. Konser selalu menjadi bagian yang ia tunggu-tunggu—momen di mana ia bisa menunjukkan kerja kerasnya, berada di atas panggung, dan merasakan cinta dari para penggemar. Itu adalah pelarian dari semua masalah pribadi yang ia alami. Ia merasa, di atas panggung, segalanya terasa lebih ringan.

Heeseung yang memperhatikan perubahan di wajah Jungwon, tersenyum dan berkata, "Jungwon, aku tahu beberapa hari terakhir ini berat buatmu, tapi tur ini mungkin bisa jadi kesempatan buat kamu mengalihkan perhatianmu dan fokus pada hal-hal yang lebih positif."

Jungwon mengangguk pelan, menyadari kebenaran dari kata-kata Heeseung. "Iya, hyung. Mungkin ini yang aku butuhkan. Fokus pada konser dan latihan bisa bantu aku merasa lebih baik."

Sunoo menyenggol bahu Jungwon dengan lembut, tersenyum hangat. "Kamu nggak sendiri, Jungwon. Kami semua ada di sini buat kamu. Jadi, apapun yang terjadi, kita bakal hadapi bareng-bareng."

Obrolan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka berbagi ide tentang konsep konser, outfit yang ingin mereka pakai, hingga latihan-latihan khusus yang mereka butuhkan. Tawa mereka tak pernah berhenti. Setiap kali seseorang membuat lelucon, yang lain ikut tertawa, membuat suasana semakin hangat dan nyaman.

Pada satu titik, Ni-ki tiba-tiba bangkit dari duduknya dan berkata, "Hei, kenapa nggak kita adain tantangan di konser nanti? Misalnya... siapa yang bisa menari paling lama tanpa berhenti?"

"Astaga, kamu selalu punya ide gila," kata Jake sambil tertawa. "Tapi itu terdengar menyenangkan."

Jungwon hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat antusiasme teman-temannya. Meskipun hatinya masih sedikit tergores oleh kenyataan yang sedang ia hadapi, ia tahu bahwa ada kebahagiaan yang bisa ia temukan di sini, bersama teman-temannya.

Malam itu, tawa mereka berderai hingga hampir dini hari. Meskipun tubuh mereka lelah, hati mereka terasa penuh dengan kebahagiaan dan keceriaan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Jungwon merasa bahwa ia bisa benar-benar melepaskan bebannya dan menikmati momen bersama orang-orang yang peduli padanya.

Heeseung yang duduk di samping Jungwon, diam-diam memperhatikan wajah adik kecilnya. Ia bisa melihat betapa jauh lebih tenang Jungwon malam itu. Ada senyum yang tulus di wajahnya, dan itu membuat Heeseung merasa lega.

"Kamu kelihatan lebih baik malam ini, Jungwon," bisik Heeseung sambil menepuk punggungnya.

Jungwon menatap Heeseung, lalu mengangguk pelan. "Terima kasih, hyung. Aku merasa lebih baik. Aku rasa ini semua berkat kalian."

Heeseung tersenyum, merangkul Jungwon erat. "Kita keluarga, Jungwon. Kapanpun kamu butuh kami, kami selalu ada buatmu."

Malam itu, meskipun rasa sakit di hati Jungwon belum sepenuhnya hilang, ia merasa bahwa ada harapan untuk kembali menemukan kebahagiaan. Bersama teman-temannya, ia tahu bahwa ia tidak akan pernah sendirian menghadapi semua ini.

More Chapters