Cherreads

Chapter 1 - BAB 1 Cinta yang Hilang dalam Bayangan yang Gelap

Malam itu, hujan deras turun, menciptakan simfoni sendu yang seakan menggambarkan hati Jungwon. Di balkon apartemennya, ia berdiri memandang kosong ke luar, mengingat kembali setiap momen kebersamaannya dengan Gabriel. Di tengah hujan dan dingin yang menusuk, kenangan-kenangan mereka bersama justru terasa semakin jelas, seakan ingin terus menghantuinya.

Dulu, mereka selalu berbagi tawa di tempat yang sama. Setiap senyuman Gabriel masih tergambar jelas di benaknya—senyuman yang selalu mampu menghangatkan hatinya, meski kini terasa begitu jauh. Jungwon menggenggam erat ponselnya, berharap ada pesan darinya. Namun layar tetap kosong, seperti jarak yang kian melebar di antara mereka.

"Apa yang salah?" Jungwon bergumam pelan, lebih pada dirinya sendiri daripada pada dunia yang kini terasa sunyi. Di hatinya, ia tahu bahwa Gabriel telah mulai menjauh. Bukan karena mereka tidak saling mencintai lagi, tapi karena ada sesuatu yang mengubah Gabriel. Sesuatu yang tidak bisa ia pahami.

Tetesan air mata bercampur dengan hujan di pipinya saat Jungwon mengingat hari-hari di mana Gabriel mulai jarang menghubunginya. Setiap kali ponselnya berbunyi, ia berharap itu Gabriel. Tapi sering kali, ia berakhir kecewa. Saat ini, rasa hampa mulai memenuhi hati Jungwon.

Namun meski semua tanda-tanda itu jelas, Jungwon tidak bisa membiarkan dirinya menyerah. "Aku akan menunggumu, Gabriel," katanya dalam hati. Ia percaya bahwa perasaan mereka tidak akan lenyap begitu saja. Cinta mereka pasti masih ada, hanya tertutup bayangan gelap yang sementara menutupi segalanya.

Tapi, sampai kapan ia harus menunggu? Seberapa kuat cinta itu bisa bertahan sebelum akhirnya lelah?

Dengan tarikan napas panjang, Jungwon kembali masuk ke apartemennya yang terasa semakin dingin. Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya, dan entah mengapa, rasa takut mulai menjalari pikirannya. Takut bahwa mungkin, suatu hari, Gabriel benar-benar akan hilang dari hidupnya—bukan karena kesalahpahaman, tapi karena pilihan.

Di dalam hatinya, Jungwon tahu bahwa malam ini hanyalah awal dari pertempuran panjang yang harus ia hadapi. Pertempuran untuk mempertahankan cinta yang mulai hilang di antara bayangan-bayangan gelap yang tak terduga.

Matahari pagi muncul dengan enggan, menyelinap di balik awan-awan kelabu, seolah enggan menyinari hari Jungwon yang penuh kekhawatiran. Dering alarm di ponselnya membangunkannya dari tidur yang tidak nyenyak. Mata Jungwon masih berat, tetapi pikirannya sudah melayang pada Gabriel—orang yang selalu ia pikirkan setiap kali ia membuka mata.

Ia melirik layar ponselnya, berharap menemukan pesan dari Gabriel. Namun, seperti yang sudah terjadi beberapa minggu belakangan ini, tidak ada pesan. Hanya notifikasi rutin dari media sosial dan beberapa pesan dari teman-temannya yang tidak ia buka.

Dengan perasaan hampa, Jungwon berjalan menuju dapur. Ia menyiapkan kopi, mencoba menemukan ketenangan dalam rutinitas harian yang semakin terasa hampa tanpa kehadiran Gabriel. Setiap sudut apartemen ini mengingatkannya pada kenangan mereka. Dapur ini adalah tempat mereka sering duduk bersama, berbincang hingga larut malam, tertawa tanpa beban. Namun kini, hanya kesunyian yang mengisi ruangan.

Sambil menyesap kopi hangat, pikiran Jungwon melayang pada pertemuan pertama mereka. Itu adalah hari yang ia ingat dengan jelas—hari ketika ia merasa bahwa hidupnya berubah. Gabriel datang seperti angin musim semi, membawa keceriaan dan harapan yang ia pikir tidak pernah ada sebelumnya. Mereka bertemu di sebuah acara kampus, dan sejak saat itu, hidupnya menjadi lebih berwarna.

Kenangan itu membuat Jungwon tersenyum tipis, meski senyum itu hanya bertahan sejenak sebelum kesedihan kembali menghampiri. Apa yang terjadi pada mereka? Di mana titik awal dari perubahan ini? Ia mulai merasa bahwa cinta yang dulu begitu hangat kini perlahan pudar. Dan yang lebih menakutkan, Gabriel tampak semakin jauh, meskipun mereka berada di kota yang sama.

Hari itu, Jungwon memutuskan untuk tidak hanya menunggu. Ia tahu bahwa jika ia terus terjebak dalam kebisuan, segala sesuatu hanya akan semakin memburuk. Ia memutuskan untuk menemui Gabriel, berharap dapat berbicara langsung, bertanya mengapa Gabriel mulai menjauh.

Setelah beberapa pesan singkat dan penantian yang terasa lama, Gabriel akhirnya menjawab dan setuju untuk bertemu di kafe tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Hati Jungwon berdebar-debar, campuran antara harapan dan ketakutan. Apakah ini akan menjadi kesempatan untuk memperbaiki segalanya? Ataukah akan semakin memperjelas bahwa hubungan mereka benar-benar menuju akhir?

Sore itu, Jungwon tiba lebih awal di kafe. Ia memilih meja di sudut, tempat mereka biasa duduk bersama. Ia bisa melihat jalanan dari jendela, berharap setiap orang yang melewati pintu kafe itu adalah Gabriel. Detik-detik berlalu, dan Jungwon semakin tidak sabar. Hingga akhirnya, Gabriel muncul.

Gabriel tampak berbeda—tidak ada lagi senyum cerah yang biasanya selalu menyambutnya. Ada sesuatu di mata Gabriel yang sulit dijelaskan, sesuatu yang membuat dada Jungwon terasa sesak. Gabriel berjalan mendekat, duduk di depan Jungwon tanpa banyak bicara.

"Jungwon," suara Gabriel terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Aku... Aku pikir kita perlu bicara tentang ini."

Jungwon menatap mata Gabriel, mencoba mencari jawaban di dalamnya. "Apa yang terjadi, Gabriel? Mengapa kamu menjauh? Aku tidak mengerti apa yang salah."

Gabriel menggigit bibir bawahnya, seakan mencoba merangkai kata-kata yang sulit diucapkan. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi... aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Aku merasa tidak seperti dulu lagi, dan aku tidak ingin kamu terluka karena perasaanku yang berubah."

"Perasaanmu berubah?" Jungwon bertanya, suaranya terdengar penuh rasa tidak percaya. "Apa kamu tidak mencintaiku lagi?"

Pertanyaan itu membuat Gabriel terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan mata yang penuh kebingungan. "Aku... aku tidak tahu, Jungwon. Aku masih peduli padamu, tapi... ada seseorang yang membuatku merasa berbeda."

Jungwon merasakan hatinya runtuh. Kata-kata Gabriel seperti pisau yang menancap dalam-dalam, meninggalkan luka yang mungkin tidak akan pernah sembuh. Ia terdiam, mencoba memproses kenyataan pahit ini. Seseorang yang lain. Seseorang yang telah mengambil tempatnya di hati Gabriel.

"Siapa dia?" Jungwon bertanya dengan suara bergetar.

Gabriel menghela napas panjang. "Dia hanya seseorang yang aku temui belakangan ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi... dia membuatku merasa berbeda. Dan aku tidak ingin membohongi dirimu atau diriku sendiri."

Jungwon ingin marah, ingin berteriak, ingin menuntut penjelasan lebih lanjut. Tapi yang ia rasakan hanya kehampaan. Semuanya terasa kosong. Cinta yang selama ini ia jaga dan pertahankan kini mulai terasa rapuh, seperti bangunan yang perlahan-lahan runtuh tanpa bisa diselamatkan.

"Kamu akan pergi bersamanya?" Jungwon bertanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Gabriel tidak menjawab langsung, hanya menundukkan kepala. "Aku butuh waktu untuk mencari tahu perasaanku. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa."

Detik-detik hening berlalu, sebelum akhirnya Jungwon mengangguk perlahan. "Jika itu yang kamu butuhkan, aku akan menunggu."

Gabriel menatap Jungwon, matanya basah oleh air mata yang tertahan. "Aku minta maaf, Jungwon."

Kata-kata itu terasa seperti akhir dari segalanya. Tapi di hati Jungwon, ia tahu bahwa meskipun Gabriel mungkin telah mulai jatuh cinta pada orang lain, cintanya sendiri belum padam. Ia akan tetap menunggu, meskipun hatinya terluka. Dan dengan itu, sore itu di kafe kecil tersebut berakhir dalam kesunyian yang menyakitkan.

Malam setelah pertemuan di kafe itu, Jungwon duduk di sofa apartemennya, termenung memandangi layar ponselnya yang terus-menerus sepi dari pesan Gabriel. Hanya satu pesan yang terus berputar di pikirannya—pesan maaf yang diucapkan Gabriel sebelum mereka berpisah. Kata-kata itu terngiang-ngiang dalam benaknya, membuat hatinya semakin berat.

Jungwon tidak pernah berpikir bahwa hubungannya dengan Gabriel akan sampai pada titik ini. Bertahun-tahun bersama, mereka telah berbagi begitu banyak momen, merencanakan masa depan yang indah bersama. Tapi kini, semuanya seolah menguap begitu saja. Gabriel membutuhkan waktu, dan Jungwon tidak punya pilihan selain memberikannya. Namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa semakin lama waktu yang berlalu, semakin jauh Gabriel akan melangkah.

Ia meraih ponselnya, membuka galeri foto. Satu per satu, ia melihat foto-foto mereka berdua. Senyum Gabriel di setiap foto seakan berbeda dari yang ia lihat hari ini. Foto-foto itu menunjukkan kebahagiaan yang tulus, cinta yang nyata, sesuatu yang kini terasa begitu jauh. Jungwon tak bisa menahan air matanya lagi. Hatinya seolah tak sanggup menahan beban yang semakin menumpuk.

"Bagaimana bisa semua ini terjadi begitu cepat?" gumamnya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri. Ia merasa terjebak dalam pusaran emosi—antara berharap Gabriel akan kembali dan menerima kenyataan bahwa mungkin segalanya sudah berakhir. Ia mencintai Gabriel lebih dari apa pun, tetapi apakah cinta saja cukup untuk mempertahankan hubungan ini?

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Jungwon mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa. Ia pergi bekerja, bertemu dengan teman-temannya, dan menjalani aktivitas harian lainnya. Namun, semuanya terasa kosong. Setiap kali ia mendengar tawa atau melihat pasangan lain, hatinya mencubit dengan rasa sakit yang sulit dijelaskan. Setiap sudut kota yang pernah menjadi saksi kebersamaan mereka kini hanya menjadi pengingat betapa jauhnya mereka telah terpisah.

Jungwon mulai kehilangan semangat untuk hal-hal yang dulu membuatnya bahagia. Musik yang biasa ia dengarkan kini terasa tanpa jiwa. Teman-temannya mulai khawatir melihat perubahan dalam dirinya. Eunji, sahabatnya, mencoba menghiburnya dengan mengajak keluar, tetapi setiap kali Jungwon mencoba tersenyum, itu hanya sebuah topeng untuk menutupi kepedihannya yang semakin dalam.

Suatu malam, setelah hari yang panjang dan melelahkan, Jungwon kembali ke apartemennya dengan perasaan lebih hampa dari biasanya. Ia melepas jaketnya dan meletakkannya sembarangan di sofa, lalu berjalan menuju kamar. Di atas meja, ada sebuah surat yang ia tulis untuk Gabriel beberapa hari sebelumnya, namun tidak pernah ia kirimkan.

Surat itu berisi semua perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan saat mereka bertemu di kafe. Surat yang penuh dengan kerinduan, harapan, dan kebingungan. Jungwon mengeluarkan surat itu dari amplop, membuka lipatannya, dan membaca kembali setiap kata yang ia tuliskan dengan hati yang hancur.

Surat untuk Gabriel

Gabriel,

Aku tidak tahu bagaimana cara memulainya. Mungkin aku terdengar bodoh, tetapi aku merasa bahwa aku kehilanganmu, meskipun kita masih di tempat yang sama. Aku merasa ada jarak yang semakin lebar di antara kita, dan aku tidak tahu bagaimana cara menjembataninya.

Ketika kita pertama kali bertemu, aku merasa bahwa kamu adalah segalanya yang aku butuhkan. Kamu memberi warna dalam hidupku, membawa kebahagiaan yang aku pikir tidak pernah ada sebelumnya. Tapi sekarang, kamu terlihat jauh. Dan aku tidak tahu harus bagaimana.

Aku selalu percaya pada kita, Gabriel. Aku percaya pada cinta kita, pada setiap janji yang pernah kita buat bersama. Tapi sekarang aku takut. Aku takut bahwa cinta yang kita bangun perlahan memudar. Aku takut bahwa aku akan kehilanganku.

Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah menyerah. Aku akan menunggu, tidak peduli seberapa lama waktu yang kamu butuhkan. Karena aku masih percaya pada kita, pada cinta kita. Tapi, jika pada akhirnya kamu memilih orang lain, aku harap kamu bahagia. Meski hatiku akan terluka, aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu mencintaimu.

Jungwon

Air mata jatuh di kertas yang sudah sedikit kusut itu. Jungwon menutup suratnya, menggenggamnya erat-erat. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa meskipun Gabriel mungkin sudah memilih orang lain, perasaannya tidak akan pernah berubah. Ia akan terus mencintai Gabriel, meski hanya dari kejauhan.

Keesokan harinya, Jungwon mencoba melanjutkan hidup seperti biasa, meskipun luka di hatinya belum sembuh. Namun, di balik setiap senyum palsu dan tawa yang ia tunjukkan pada dunia, ada bagian dari dirinya yang terus berharap. Berharap bahwa mungkin, suatu hari nanti, Gabriel akan menyadari bahwa cinta mereka masih ada. Namun di sisi lain, ada perasaan takut bahwa penantiannya hanya akan membawa lebih banyak kekecewaan.

Hari-hari berlalu, dan semakin lama, kabar dari Gabriel semakin jarang. Jungwon masih terus menunggu, meski setiap harapan terasa semakin jauh. Ia tidak tahu sampai kapan ia bisa bertahan, tetapi satu hal yang pasti—cintanya untuk Gabriel tidak akan pernah hilang.

More Chapters